"Alan! Alan, Alan, Alan!!"
Pukul 05:15 WIB. Alan buru-buru beranjak dari sofa begitu mendengar suara Sasha berteriak dari kamar. Ia segera berlari menaiki tangga, dan ketika membuka pintu kamar, ia juga melihat Sasha yang baru keluar dari kamar mandi dengan panik.
"Alan!"
"Kenapa, kenapa?" tanya Alan buru-buru menghampiri Sasha yang sudah hampir menangis.
"Beneran kejadian," jawab Sasha lemas.
"Hah? Kejadian apa?"
"Gue hamil," jawab Sasha menunjukkan testpack yang ada ditangannya.
Alan terdiam. Antara bingung, kaget, dan masih belum percaya dengan apa yang ia lihat. Dua garis merah pada alat testpack yang Sasha pegang.
"Hamil?"
"Iya, hamil lo gak liat? Gimana dong, Lan?" tanya Sasha masih kelihatan panik.
"Gimana? Kok lo bingung sih? Ini ... Ini bagus lah, Sha. Lo hamil, lo punya suami, ngapain lo bingung, ya ampun, Sha!" Alan tersenyum lebar. Meskipun gemas dengan respon Sasha, Alan tetap memeluk Sasha erat-erat.
"Heh, kok lo diem? Lo gak seneng hamil?" tanya Alan melepaskan pelukannya karena Sasha sama sekali tak merespon rasa senangnya saat ini.
"Bukan gak seneng. Tapi ... Ini ... Gue kan baru banget dapet kerja, Lan."
"Kan lo yang waktu itu ngajak bikin, Sha."
"Ck, itu kan cuma iseng aja," jawab Sasha menyenderkan tubuhnya yang sedikit linglung ke meja rias kamarnya.
"Mana gue tahu kalau bakal langsung jadi," gumam Sasha pelan.
"Terus maunya gimana? Mau di ... Gu-"
"Ih mulutnya ya, masih aja. Sembarangan banget!" sergah Sasha buru-buru hingga refleks menepuk pipi Alan gemas.
"Masa ngomong gitu ke anak sendiri? Macem-macem banget," lanjut Sasha kali ini memukul lengan Alan sedikit keras. Tapi bukannya marah, Alan malah tertawa terbahak-bahak.
"Ya makanya, ngapain bingung? Tinggal jalanin aja. Sekarang lo hamil, itu berkah banget lho. Gak semua orang bisa dapet kesempatan ini, lo tau kan?"
"Iya gue tahu. Tapi tetep aja Lan ... Gue masih belum siap punya anak. Nanti kalau gue gak bisa jagain gimana? Kalau gue gak bisa hati-hati gimana? Lan, lo tahu kan gue ceroboh banget?"
"Sha ..."
"Kalau sampe ini bayi kenapa-kenapa, sama aja gue pembunuh dong, Lan. Apalagi ini anak gue. Ya ampun, kasian banget anak gue punya Ibu ceroboh banget. Lo inget kan? Semalem gue masih makan seblak, dan itu pedes banget. Gue sakit perut, gue pikir karena kepedesan. Kalau ternyata ada apa-apa sama bayinya gimana? Lan-"
"Heh, hey ... Sha. Stop."
Sasha diam, meskipun ia masih menahan napas seolah belum bisa tenang sama sekali dengan berhenti bicara.
Tapi Alan merengkuh kedua bahunya, menunduk menatapnya lekat-lekat sambil mengelus bahunya pelan-pelan.
"Tenang. Dengerin gue. Sekarang, anggap aja Tuhan udah kasih kepercayaan ini sama lo, sama gue, karena kita bisa, Sha. Lagian lo gak akan sendiri. Ada gue, kalau perlu dua puluh empat jam gue awasin lo. Ada Bapak sama Ibu yang juga pasti lebih aware begitu tahu lo hamil."
"Tapi Lan, gue ..."
"Sha, lo bukan anak kecil lagi. Lo belum siap, lo pikir gue juga udah? Hal kaya begini wajar terjadi, Sha. Dan gue yakin, seceroboh apapun lo, pasti naluri keibuan lo juga perlahan muncul. Dan itu kekuatan lo dibanding gue. Oke? Sekarang yang perlu lo lakuin adalah, tenang. Jangan sampe lo panik, dan perut lo akan tegang. Tarik napas pelan-pelan," ucap Alan.
Sasha menurut, ia menarik napasnya gusar.
"Keluarin ... Tarik lagi pelan-pelan ... Keluarin lagi pelan-pelan."
Setelah tiga kali melakukan olah napas sederhana itu, akhirnya Sasha merasa lebih baikan.
"Sha. Sejak lo terima perasaan gue, sejak saat itu juga gue selalu merasa berterimakasih karena gue punya lo. Sebelumnya gue hampir gak pernah ngerasa bersyukur atas apapun dalam hidup gue, Sha. Dan sekarang, lo adalah satu-satunya yang buat gue gak berhenti ngerasa bersyukur, Sha," bisik Alan membelai rambut Sasha perlahan, lalu mengelus pipi istrinya itu.
"Kok nangis sih?" gumam Sasha ingin tertawa tapi merasa bersalah juga melihat tiba-tiba Alan meneteskan air mata dari mata sebelah kirinya.
"Jangan nangis dong, sayang." Sasha menghapus air mata di pipi Alan.
"Gue terharu," jawab Alan pelan.
"Ih, Alan ..." Akhirnya Sasha memeluk Alan dengan erat sambil mengelus-elus rambut Alan yang kini menyenderkan wajahnya di bahu Sasha sambil membalas pelukannya.
"Gue sayang .... Banget sama lo, Lan," bisik Sasha pelan.
Alan menoleh, tanpa melepaskan pelukannya, ia mencium pipi Sasha beberapa kali.
"Gue juga sayang banget sama lo," bisik Alan tepat di telinga Sasha lalu memejamkan matanya sambil tersenyum. Begitu juga dengan Sasha yang ikut tersenyum menyender di lengan Alan.
***
Makasih banyak ya kalian udah ngikutin ceritanya dari awal sampai akhir ❤ Udah vote, comment, dan sabar banget nungguin cerita ini, makasih banyak ya... Seperti biasa, kalau ada kritik dan saran yang bisa aku perbaiki untuk tulisan aku kedepannya, tulis aja di komen ya. Sampai ketemu di karya cerita aku selanjutnya ya ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED TO BE YOURS
RomanceAlan tak pernah membayangkan kalau ia akan dilamar oleh gadis kecil seperti Sasha. Padahal gadis yang baru menginjak usia 19 tahun itu dengan jelas menolak perjodohan mereka sebelumnya. Sasha sendiri merasa ingin menghardik diri sendiri ketika ia m...