Hari masih pagi saat Lee Jeno menginjak pedal gas mobilnya membelah jalanan kota Seoul yang ramai. Pria tampan itu bersenandung kecil mengikuti lantunan lagu "Mine" yang mengalun lembut memecah kesunyian di dalam mobil. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak sebulan terakhir. Muse. Ya, ia masih belum bisa hidup dengan tenang jika belum menemukan muse untuk pameran besar yang menjadi impiannya selama ini.
10 tahun sudah Jeno bergelut dalam profesi yang membuatnya menjadi cukup terkenal seperti sekarang. Terutama dalam industri hiburan Korea, siapa yang tidak mengenal sosok Lee Jeno? Seorang fotografer berbakat yang tidak hanya memotret untuk karyanya sendiri, tapi juga sering menggarap poster film dan drama dengan rating tinggi. Dengan tangan dinginnya memainkan lensa kamera, Jeno sukses menciptakan jutaan potret mengagumkan dengan nilai seni tinggi.
Namun menyelenggarakan pameran tunggal untuk perayaan 10 tahun karirnya bukanlah hal yang mudah. Jeno tak hanya ingin memamerkan pencapaiannya selama ini, yang terpenting adalah foto-foto terbaik dari semua karyanya selama 10 tahun. Ia ingin orang lain terhenyak saat memandangi potretnya, termenung sembari menerka sebuah rasa yang ia selipkan dalam setiap jepretan.
Muse. Ia harus segera menemukannya atau rencana pameran itu hanya impian belaka.
Jeno memarkirkan mobilnya di depan studio yang sekaligus menjadi galeri pribadinya. Lalu, sambil membawa sebuah cup kopi di tangannya ia melenggang masuk ke dalam.
Seorang gadis yang berada di balik meja receptionist menyapanya dengan senyum ramah. Jeno membalasnya dengan anggukan pelan, tapi raut wajahnya berubah datar saat melihat seorang lelaki yang sepertinya sempat menggoda salah satu karyawannya selama ia belum datang.
"Hai brother!" Seru lelaki yang menutup rambutnya dengan beanie biru tua menyapa Jeno sambil mengangkat sebelah tangannya.
Jeno tampaknya tidak berniat untuk meladeni lelaki itu sama sekali. Ia hanya memutar kedua bola matanya lalu berjalan menaiki tangga di ujung ruangan. Sial sekali harus berurusan dengan Mark Lee sepagi ini.
"Jen kenapa kau mengacuhkanku? Apa kau marah lagi padaku?" Kesal Mark sambil menggerak-merangkul bahu Jeno.
"Kau datang ke galeriku pagi-pagi adalah dosa yang tidak termaafkan." Jawab Jeno dengan cueknya. Sungguh, tapi rencananya untuk mencari inspirasi pagi hilang karena kehadiran Mark.
"Yah, padahal aku ingin memberitahumu sesuatu."
"Well, aku tidak ingin tahu."
"Tapi kau harus tahu, Jeno!"
Sambil mencengkeram handle pintu kantor pribadinya, Jeno menatap Mark dengan wajah malas. "Aku akan mendengarkannya tapi setelah itu kau harus pergi, oke?"
"Wah, kenapa kau jahat sekali padaku?" Mark mengerucutkan bibirnya.
"Astaga Mark..." keluh Jeno sambil mengusap wajahnya pasrah. Ia memang tidak bisa menghindari Mark. Karena mau sekeras apa ia menolak, Mark tetap akan tinggal di dekatnya dengan mulut besarnya itu.
Dengan senang hati Mark menjatuhkan diri di sofa empuk di ruangan Jeno. Sementara Jeno segera duduk di mejanya dan membuka laptop untuk sekedar mengecek e-mail masuk.
"Kau tahu Jen, sekarang aku sedang berpacaran dengan Haechan." Beritahu Mark dengan bangganya.
"Yah, aku sudah membaca artikelmu tadi. Selamat ya," Jeno tidak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
"Wah, aku tidak menyangka diam-diam kau memperhatikanku juga. Kau pasti penasaran kan saat membaca judulnya?" Mark menyunggingkan senyum licik.
"Terserah."
KAMU SEDANG MEMBACA
COLD BUTTERFLY | Noren
Fiksi PenggemarLee Jeno telah menjalani profesi sebagai seorang fotografer sejak 10 tahun terakhir. Ia berniat menyelenggarakan sebuah pameran untuk memperingati 1 dekade karirnya. Dan Huang Renjun, penyanyi sekaligus model terkenal dengan kecantikannya memikat pe...