Chapter 4 : Rumour

4.2K 535 39
                                    

Guys, minta komennya dong hehe ☺️


"Kondisinya stabil. Pasien tidak mengalami luka yang berarti, hanya kakinya yang sedikit terkilir dan luka di pelipisnya sudah kami obati. Sekarang tinggal menunggunya siuman dan pasien bisa dibawa pulang." Jelas dokter yang menangani Renjun begitu Jeno membawanya ke rumah sakit.

Jeno menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Terima kasih dokter," ucapnya lalu dokter dan perawat tersebut berlalu pergi.

Jeno beralih memandangi Renjun yang masih menutup mata seolah sedang menikmati tidur nyenyak. Ia dapat melihat bagaimana lelaki itu bernapas dengan perlahan, wajahnya saat tertidur sangatlah damai. Jeno pun mendekati ranjang Renjun dan duduk di kursi di sisinya. Entah apa yang membisikinya hingga jari telunjuknya bergerak menyusuri tulang pipi Renjun yang ternyata lembut dan terasa rapuh.

Ucapan Renjun sebelum ia kecelakaan membuat Jeno larut dalam pikirannya sendiri. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa Renjun membencinya. Atau mungkin, Renjun melakukan ini karena tidak mau bekerja sama dengannya? Karena Renjun memiliki standar yang sangat tinggi? Tapi... raut wajah Renjun saat melihatnya benar-benar aneh. Seolah-olah dirinya adalah malaikat kegelapan yang siap untuk mencabut nyawanya.

Tak berapa lama kemudian Renjun membuka kelopak matanya dengan perlahan. Tubuhnya pun sontak menegang saat melihat Jeno di sampingnya. "Kenapa kau ada disini?" Ucapnya dengan suara serak. Ia hendak bangkit untuk duduk tapi tiba-tiba kepalanya terasa sakit.

"Pelan-pelan Renjun, kepalamu masih terluka," Jeno berusaha membantu Renjun dengan menidurkannya kembali. "Tadi kau tertabrak mobil. Untungnya tidak terlalu parah tapi kau tetap harus istirahat sampai pulih."

Renjun tidak mau memandang Jeno. Ia mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit. Sekarang sebaiknya kau pergi."

"Pergi? Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini Renjun."

"Aku bisa menelepon managerku." Renjun merogoh saku celananya untuk mencari ponsel, namun tidak ia temukan hingga Jeno mengangkat benda yang sudah remuk itu ke hadapannya.

"Aku akan menggantinya dengan yang baru. Dan setelah ini aku akan mengantarmu sampai ke rumah."

"Tidak..." Belum sempat Renjun melanjutkan kata-katanya, Jeno sudah lebih dulu mendekatkan wajahnya dan membuatnya terpaku. Mereka diam dalam posisi sedekat itu selama beberapa detik. Tanpa sadar, Renjun menahan napasnya ketika melihat kedua bola mata Jeno yang gelap dan mengerikan.

"Aku yang telah membuatmu seperti ini jadi akulah yang harus bertanggung jawab. Kau mengerti?" Ujar Jeno dengan suara yang dalam dan berat membuat Renjun merinding.

"Kalau kau sudah lebih baik, kita bisa pulang sekarang." Kata Jeno dengan santainya setelah membuat Renjun hampir mati kehabisan napas.

🦋

Jeno dan Renjun sama-sama terdiam di perjalanan pulang ke rumah Renjun. Jeno fokus menyetir, sesekali menoleh ke arah lelaki di sampingnya yang seolah mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Kau mau makan sesuatu?" Jeno bertanya untuk memecah keheningan.

"Antarkan saja aku ke rumah. Kau tidak perlu melakukan yang lain." Jawab Renjun dingin.

"20 tahun, Renjun. Aku sudah mengabadikan banyak kenangan selama 20 tahun, sejak usiaku 8 tahun."

Renjun melirik ke arah Jeno dengan ekor matanya.

"Ayahku yang pertama kali memperkenalkan benda kecil bernama kamera, sebagai hadiah ulang tahunku saat itu. Awalnya, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana cara kerja benda asing itu." Jeno terus melanjutkan ceritanya meski tidak ada tanggapan dari orang di sebelahnya.

COLD BUTTERFLY | NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang