Bayi

226 19 6
                                    

Flashback waktu dedek force umur tiga bulan



"Bundaaaaa! Ayaaaaahh! Hari ini kita jadi ke rumah oma, kan?"

Pagi ini Natcha dan Arthit begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi ke rumah sang nenek. Ngomong-ngomong, semua keluarga Singto sudah menerima Krist dan anak-anaknya. Mungkin karena takut akan nama mereka yang di coret dari daftar penerima warisan, jadi hari ini Singto berani membawa keluarga kecilnya ke rumah sang nenek demi mengikuti acara bulanan keluarga.

Pertama kali setelah beberapa tahun Singto memperkenalkan bayi kembarnya dan mendapat perlakuan tak mengenakan. Kini Singto membawa Force yang baru kali ini keluar rumah selain untuk pemeriksaan di posyandu.

"Jadi dong, tapi kita sarapan dulu, ya! Sambil nunggu bunda mandiin adek, sana sarapan sama ayah" tutur Krist lembut, kedua kembarnya yang sudah tampan dan cantik itu beranjak ke meja makan.

Krist memandang ke arah pintu, ia khawatir, apakah semuanya akan baik-baik saja?

"Krist?"

"Ya?"

Singto yang baru saja selesai bersiap itu mengusap-usap bahu suaminya, memberikan ketenangan pada si manis yang sedikit panik, "Gapapa, semua baik-baik aja." Sebuah kecupan hangat mendarat di pucuk kepala Krist, menandakan memang semuanya akan baik-baik saja.

***

Natcha begitu senang, akhirnya ia bisa bertemu kakak Ciize-nya lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Krist dan Baifern sengaja datang ke rumah nenek Singto lebih awal agar tak menjadi pusat perhatian setelah sekian lama tak menunjukan wajahnya di depan keluarga besar.

Semuanya memang baik-baik saja, sampai di malam hari setelah makan malam, Force merengek saat Krist dan Baifern sengaja ikut berkumpul bersama kakak sepupu Singto yang lain. Force tidak mau diam karena ia tak nyaman, Krist memeriksa perutnya yang kembung, artinga Force sudah kenyang, tidak mungkin jika ia memberikan asinya lagi. Krist juga sudah membawa Force ke dalam kamar sang ayah yang masih kosong itu agar dapat terlelap nyenyak, namun sepertinya Force tidak nyaman dengan pakaiannya yang cenderung tebal.

Suara tangisan Force terdengar ke gerombolan para kakak sepupu Singto yang tengah bersenda gurau sambil menikmati cemilan-cemilan kecil. Tangisan itu membuat mereka terganggu, akhirnya Emma, kakak sepupu Singto yang paling tua itu menghampiri Krist yang tengah berusaha menyamankan putranya.

"Sini sama kakak aja! Kamu anaknya udah tiga, nenangin bayi aja gak becus!" Force di tarik perlahan dari gendongan Krist, padahal bayi kecil itu sudah hampir terlelap. Kini terbangun lagi, dan merengek lagi, "Mana susunya? Dia tuh haus, makanya nangis terus!"

Krist tidak terima, putranya di perlakukan kasar oleh orang asing. Selain ibu dan nenek Singto, dan keluarga Baifern, keluarga Singto yang lain terasa asing bagi Krist, "Maaf mbak, tapi anakku udah nyusu dari tadi..."

"Kamu gak liat anak kamu nangis gitu? Dia haus! Anak saya udah lima, saya tau cara ngurus bayi! Anak bayi kalo nangis tuh di kasih asi! Sini minum asi saya aja, orang tua kamu semuanya cowok, mana punya asi..."

"Mbak! Stop!"

Krist geram, wanita di depannya sungguh kelewatan, "Dia anak saya, saya yang setiap hari sama dia, saya gak peduli mau anak mbak sampe sepuluh pun, harusnya mbak lebih paham, anak bayi maunya sama ibunya..." Krist mengambil alih Force dari Emma, "...Bukannya sama orang asing yang sok tahu, megang bayi belum cuci tangan, main ngasih asinya ke bayi lain, padahal asi juga cocok-cocokan, salah-salah anak saya yang celaka, mbak!"

Perdebatan ini belum seberapa, setelah Emma meninggalkan Krist yang emosi dengan Force yang masih merengek di dada sang ibu, "Iya sayang...maafin bunda ya nak..." kemudian saat Krist kembali pada Baifern yang sedang mengobrol dengan kakak sepupu Singto yang lain, Emma juga tengah menyuapi bayinya dengan pisang yang sudah dihaluskan pada bayi yang masih terlihat seusia Force, namun Krist masih berpikiran positif jika ukuran bayinya memang kecil, "Umur bayinya berapa mbak?"

"Tiga bulan"

Anjir?! Nekat amat di kasih pisang?

Baifern yang baru mengetahui hal ini juga sama terkejutnya dengan Krist, Baifern langsung mengangkat bayi yang sedang di suapi tersebut dan sebisa mungkin mengeluarkan pisang yang berada di mulutnya. "Fern!? Kamu apa-apaan?!"

"Mbak Emma yang apa-apaan! Umurnya baru tiga bulan, masa langsung di kasih pisang?!"

Kemudian perempuan di samping Baifern berdecak, "Halah, kamu ini, bayiku kan kecil, jadi kata neneknya di suruh suapin pisang biar badannya besar"

What?! -Krist menganga tidak percaya, tampang ibu si bayi terlihat cantik dan berpendidikan tinggi, namun kita tak boleh menilai sesuatu dari luarnya saja.

Baifern adalah dokter spesialis anak, jadi wajar saja jika ia panik setengah mati melihat bayi yang diperlakukan seperti itu, "Di suapin pisang dari kapan, mbak?"

"Udah seminggu"

Tidak, Krist tidak menyangka ia akan melihat hal bodoh seperti ini, ia merasa beruntung karena merelakan masa universitasnya demi mengambil kelas bayi.

Tiba-tiba bayi mungil itu sesak napas, Fern dan Krist makin risau, terlebih lagi ibu dari bayinya.

"Kita bawa ke rumah sakit, percaya gak percaya, pasti pencernaan dia gak baik-baik aja" Ujar Baifern dengan keadaan panik membersihkan sisa pisang yang masih ada di mulut bayi tersebut. "Krist kamu titip Force sama tante sama nenek, panasin mobil kakak..." Fern merogoh kantongnya dan menyerahkan kunci mobilnya pada Krist, "Kita bawa dia ke rumah sakit, sekarang!"

***

Baifern, Emma, serta Neny, ibu dari sang bayi tersebut berlarian dari mobil yang dibawa Krist setelah keributan di rumah nenek Singto dan mengharuskan semua orang bubar lalu Singto mengantarkan suami dari Neny untuk menyusul istri dan anaknya. Malam itu pukul sembilan malam, Baifern dan dua perawatnya melakukan pengecekan dan pertolongan pertama kepada bayi mungil tersebut. Sementara itu Krist dan dua wanita itu menunggu dengan cemas di depan pintu penanganan.

"Ini salah aku...hiks! Harusnya aku gak nyuapin pisang ke anakku, huhuhuuu..."

Pintu terbuka setelah satu jam lamanya, Fern keluar dari sana dengan wajah lelah, perempuan itu menatap marah kepada suami istri yang menjadi orang tua si bayi, namun ia ingat kini ia sedang bertugas. Baifern hanya menghela napas, "Kak...anak kakak... lambungnya berdarah, ususnya infeksi, pernapasannya kesumbat makanan, besok mau di kasih pisang lagi?"

Neny menangis tersedu mendengar ucapan sarkas dari adik sepupunya, ia menyesal karena tidak menuruti anjuran dokter saja tapi justru menuruti ucapan ibunya sendiri.

"Aku tau...mbak khawatir sama perutmbuhan dia, tapi ya seenggaknya mbak konsul ke dokter atau ke bidan, bukan ke ibunya mbak. Kalo udah gini, mbak juga yang sedih, kan?"

Singto mengeratkan rangkulannya pada Krist, Singto tahu jika naluri keibuan Krist sedang sedih, melihat bayi seusia anak mereka tengah menderita karena ulah orang tuanya sendiri. Akhirnya Singto berinisiatif mengajak suaminya kembali ke rumah, membiarkan Neny dan suaminya mengurus anak mereka.

"To, gue gak tega, masa bayi seumuran adek udah di kasih begituan, semoga dia gapapa, ya?"

Sementara itu Singto terdiam, ia mengambil pelajaran banyak hari ini. Menjadi orang yang berpendidikan ternyata tak lebih berguna daripada menjadi orang tua yang cerdas. Jika seperti itu kejadiannya, si anak lah yang terkena imbasnya. Orang tua bisa memilih memiliki anak seperti apapun, tetapi anak tak bisa memilih dilahirkan oleh siapa dan bagaimana.






























Bayi, selesai!

Vee geram banget sama buibu yang bangga bisa ngasih anaknya mpasi dini, padahal kalo ibunya ga bisa ngasih asi eksklusif, kan ada sufor, semahal-mahalnya sufor, gak akan lebih mahal daripada biaya operasi anak kalo di kasih mpasi dini terus kena masalah pencernaan, kan?

Besok lagi Vee mau nulis tentang nikah dini, si tokoh utamanya tetep dedek Force! Stay tune yaww!

Keluarga Macamana (Oneshoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang