Bab XXVI - Akhir

182 22 0
                                    

"Kalian masih hidup anak muda", ucapan seorang pria paruh baya membuat Hongjoong dkk mendongak.

Mereka terkesiap kaget melihat banyak orang yang berkumpul di sekitar mereka. Beberapa di antaranya pernah mereka lihat.

"Anak muda, bagaimana kalian bisa bertahan di sana? Tidak ada yang pernah kembali jika terjebak di museum itu", ucap pria itu lagi.

"Ka-ka-kami, kami", lidah Hongjoong terasa kelu. Rasa sakit dari luka-luka di tubuhnya kian terasa. Pria itu tersenyum melihatnya. Dengan satu isyarat, tim medis datang dan membopong delapan pemuda itu.

Hongjoong dkk dibawa ke klinik terdekat. Setelah mendapatkan pengobatan, mereka dibiarkan beristirahat di satu ruangan yang sama. Pengobatan terbaik diberikan pada mereka. Belum lagi, pelayanan lain yang sepertinya berlaku pada orang kaya saja mereka dapatkan.

"Kok mereka tiba-tiba baik si sama kita? Bukannya di awal, mereka ngehindar ya?" tanya Wooyoung lirih.

"Ya kan? Gue juga bingung njir! Mana kita dilayani kayak tuan muda lagi!" timpal Mingi.

"Yeu! Seneng kan lu dapet fasilitas gitu? Mana yang layanin cakep-cakep, ye gak?" goda Yunho.

"Iya, si. Mereka cantik, tapi, sayang",

"Sayang? Apa?" Yunho mengerutkan dahi, tidak mengerti.

"Iya, sayang", ucap Mingi jahil.

PLAK!!

"Gua normal bangke!" Mingi tertawa melihat reaksi Yunho. Apalagi Yunho beringsut mendekat pada Seonghwa sambil menatap Mingi ngeri. Makin besar lah itu, tawanya Mingi.

"Shut! Berisik! Gue mau tidur anjir!" keluh Hongjoong.

Tok! Tok! Tok!

Delapan pemuda di ruangan menoleh ke arah pintu. Pria paruh baya yang mengaku bernama Adi melongokkan kepalanya.

"Boleh saya masuk?" kedelapannya sontak mengangguk. Dengan pelan, Adi melangkah. Lalu dia mendudukkan diri di satu bangsal yang kosong.

"Kalian belum menjawab pertanyaan saya. Bagaimana kalian bisa keluar dari sana?" tanya Adi penasaran.

"Apa kalian berhasil kalahin mereka? Para baju putih itu?" Seonghwa menatap Hongjoong. Lalu mengangguk pelan.

"Kami akan ceritakan", sebuah cerita cukup panjang mengalir. Tentu, mereka merahasiakan soal dimensi dan pria fedora hitam. Kedelapannya sepakat untuk tidak memberitahukan banyak hal pada warga sekitar. Menjaga agar mereka tidak khawatir berlebihan.

"Akhirnya. Jadi, mereka sudah tiada?" tanya Adi lagi.

"Benar pak. Kami, mau tidak mau harus melakukannya", kata San tenang.

"Kami tidak mempermasalahkannya. Lagipula keberadaan mereka sangat meresahkan. Kami tidak berani untuk mengambil banyak langkah karena diancam", tutur Adi.

"Tapi, pak. Di awal kami datang. Pada malam hari, apakah ada tradisi atau ritual menyambut kedatangan tamu?" tanya Jongho penasaran.

"Maksudnya?"

"Saat kami datang, malam harinya. Ada beberapa orang berjubah yang sepertinya melakukan ritual di depan villa yang kami tempati. Mereka juga seperti menggambar sesuatu di teras villa. Tapi, ketika pagi tiba tidak ada bekas apapun. Apa itu juga bagian dari tradisi yang masih dipegang masyarakat di sini pak?" Adi mengernyitkan dahi heran.

"Maaf, tapi tidak pernah ada hal seperti itu di sini. Malah ketika malam tiba, kami tidak diperbolehkan untuk keluar. Karena pada saat malam lah para penjahat itu mencari mangsa. Entah untuk apa tujuannya. Yang jelas, mereka mengincar beberapa orang. Itu pun bukan orang sembarang", Adi menjeda ucapannya.

ATEEZ | The Museum [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang