__________
Raka memandangi lekat-lekat wajah yang tetidur dalam damai di atas ranjang bangsal. Suasana IGD yang tidak terlalu ramai sore itu justru semakin memperjelas degup takutnya. Sisa-sisa kepanikan tadi masih terasa jelas sehingga getaran kecil diam-diam masih tersimpan dalam tegap berdirinya. Apalagi ketika suara langkah kaki berat yang terdengar mendekat, menyingkap tirai yang menutupi bangsal yang Riko tempati, Raka menoleh terkejut. Baru saja membuka mulut, sebuah tangan lebih dulu mampir ke pipinya. Mampir dengan keras dan tanpa peringatan.
"Pa---"
Plak!
"Pasti gara-gara kamu 'kan?"
Raka baru hendak menyapa dan ingin menjelaskan situasi lebih jelas, tetapi lagi dan lagi, seperti biasa, Pramudya menyimpulkannya sendiri. Raka disalahpahami dan dihakimi pada ke sekian kali.
Ia menunduk, menghela napas samar. Menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan segala ngilu tak menyenangkan di hati yang terus mendorongnya untuk mendeklarasikan tangis. Namun, tentu, ia tak mau. Karena tangisnya tak akan berarti apa-apa. Ia berusaha mengerti keterkejutan Pramudya setelah mendapatkan pesan darinya yang mengatakan kondisi Riko. Ia berusaha mengerti, meskipun ia tahu, sikap Pramudya barusan bukanlah hal yang harusnya ia normalisasi.
Bahkan, beberapa orang yang berada di sana ikut terkejut dan kompak mengarahkan pandangan pada sebuah bangsal yang tertutup tirai. Kemudian, setelah itu mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terlalu takut ingin mencari tahu, apalagi sampai ikut campur.
"Kamu di mana pas dia jatuh, hah? Futsal lagi?"
Raka menggeleng. "Raka hari ini gak ada latihan futsal."
"Terus?"
"Raka hari ini cuman di rumah, Pa. Raka lagi di kamar dan pas keluar, Riko tiba-tiba sudah di bawah tangga. Raka beneran gak tau kenapa... Papa, percaya Raka kan?"
"Akh! Kenapa harus Riko?!" Pramudya yang geram berusaha menurunkan volume suaranya mengingat dia berada di IGD.
"Maaf, Pa."
"Betul. Ini karena kamu gak becus jagain dia. Harusnya lebih baik kalau kamu aja yang jatuh. Ugh, mana dua hari lagi ada ulangan harian."
Raka meneguk ludahnya. Ia memandangi kakinya yang hanya berbalutkan sendal jepit, bahkan sebelahnya sudah putus. Selain itu, ada banyak luka yang sedang ia tahan di bawah sana. Termasuk bagian lutut yang robek karena goresan aspal halaman rumah sakit ketika ia terjatuh saat membawa Riko menuju ke dalam. Saking paniknya tadi di rumah, ia tak sempat mengganti dengan celana panjang. Alhasil, kecelakaan kecil yang menghasilkan luka tak dapat terhindarkan.
Namun, hal itu tak seberapa sakit daripada melihat kondisi Riko dan perlakuan Pramudya terhadapnya.
"Keluar. Saya semakin muak melihat mukamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
D-DAY : Raka dan Suaranya
Teen FictionRaka dan Riko itu ditakdirkan kembar. Namun, itu tak menjadikan bahwa segala aspek dalam kehidupan mereka sama sebagaimana wajah mereka. Mereka memang sama, tapi ruangan mereka seolah berbeda. Ruang yang paling terang adalah ruang milik Riko. Ruang...