BAB 17 : D-9, Senin yang Normal

491 58 9
                                    

____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________


Darta merapikan jaket denim yang menutupi seragam sekolahnya sebelum masuk ke sebuah mall dan membawa langkahnya pada sebuah Cafe yang telah menjadi tujuan ia datang ke sana. Namun, tiba di sana, baru saja satu langkah kakinya melewati pintu masuk, Darta langsung membeku. Ia terpaku sejenak di ambang pintu. Hal yang berhasil menjadikannya seperti itu adalah karena sebuah presensi yang tengah duduk di paling pojok ruangan kotak itu, berkutat dengan buku-buku sambil sesekali menggaruk kepala ketika ada hal-hal yang memusingkan kepalanya. Sejenak, presensi di sana menyeruput minuman cokelatnya, dan tanpa di sangka-sangka ia menoleh ke arah pintu.

Secepat kilat Darta menunduk, berjalan cepat ke arah barista untuk memesan minuman. Hatinya mulai gelisah. Ia merutuki dirinya sendiri yang malah memilih masuk. Semestinya ia putar balik kemudian mencari cafe lain saja.

Darta pergi ke salah satu meja setelah mendapatkan pesanannya. Suasana cafe saat itu tak terlalu ramai akan pengunjung. Terlampau tenang. Darta memilih duduk membelakangi orang yang telah mengejutkannya siang itu. Dia berusaha menjaga jarak sebanyak enam meja.

Tak lama kemudian, presensi itu keluar. Di tangannya, ia tampak menggenggam erat sebuah jaket kain berwarna hitam dan putih. Jaket yang tak asing bagi Darta. Jaket yang tak pernah ia sangka bahwa akan dimiliki oleh seorang pelajar.

Setelah kepergiannya yang masih dapat disaksikan oleh sejauh mata memandang, Darta jadi penasaran. Lagipula ia bosan, belum punya tujuan yang jelas setelah dari cafe. Alhasil, Darta mengikutinya dari belakang. Menjaga jarak sebanyak lima meter agak tak terlalu mencurigakan.

Namun, siapa sangka seseorang akan menabraknya hingga ia terjatuh dan ketika mengangkat kepala, sosok itu sudah tidak lagi di sana. Kepalanya kemudian sibuk menoleh ke sana kemari, berusaha mencari di antara orang-orang yang lalu lalang lewat di pandangannya. Hingga sebuah sentuhan di pundak mengejutkannya.

"Nyari saya kak?" tanya seseorang sambil mengeluarkan cengiran lebar. Orang yang telah mengejutkannya semenjak presensinya ia temukan pertama kali di cafe tadi. Mata yang menyipit tatkala sebuah senyum terangkat itu terasa menyebalkan di mata Darta. Ada keusilan di dalamnya.

"Dih, kepedean. Gue nyari eskalator!"

Bisa tebak itu siapa?

Ya, itu adalah Raka. Adyaraka Pramudya.

Sejenak laki-laki itu melirik jam tangannya. Kemudian mengernyit heran ke arah Darta. "Kak Darta bolos?"

Darta menjawab pertanyaan itu dengan seulas senyum bangga dan alis yang terangkat naik turun. Bukannya menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan lain. "Gimana rasanya diskors? Enak kan?"

Darta pikir, Raka akan menatapnya dengan tajam atau mungkin menerjangnya kembali karena telah ditipu olehnya. Namun, tak disangka Raka malah menunduk dan mengeratkan genggamannya pada jaket hitam putih di tangan kirinya. Yang hadir di depan Darta saat ini justru sosok yang tampak menyesal.

D-DAY : Raka dan SuaranyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang