BAB 9 : Rumah Siapa?

635 62 15
                                    

______________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________

"Riko," panggil Raka, entah sudah yang keberapa kalinya. Namun, nada dalam panggilan itu tetap sama, tak menaruh kesal di dalamnya meski berulang kali diabaikan.

Raka mengetuk pintu kamar Riko sekali lagi sambil memanggilnya. Tetap saja, ia masih tak mendapat jawaban. Padahal jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Artinya, setengah jam lagi bel masuk akan berdering.

"Riko... gak sekolah?"

Ini bukan kali pertama Raka mengalaminya. Akhir-akhir ini Riko sering terlihat pucat dan gelisah. Riko memang punya magh, bahkan ia telah mencegah Riko untuk menikmati berbagai makanan pedas‐--meski pun seperti biasa, ia pasti akan diabaikan. Namun, yang Raka ingat tentang masalah lambung Riko adalah bahwa masalah tersebut tidak pernah menyeretnya sampai di tahap di mana ia muntah seperti waktu di toilet. Biasanya hanya perut yang sukar dijelaskan rasa sakitnya dan kepala yang berdenyut. Selain hal itu, hal lain yang Raka pahami ialah Riko bisa muntah jika berhadapan langsung dengan darah, atau karena rasa cemas berlebihnya.

Hanya saja, ia mempertanyakan hal apa yang membuatnya hingga merasa cemas berlebih seperti itu. Tidak masuk sekolah bukan tipe Riko sama sekali. Bahkan, setelah jatuh dari tangga pun, besoknya dia tetap memaksakan dirinya untuk masuk.

Selain banyak hal yang ia tak pahami, Raka mulai menyadari bahwa Riko begitu apik menutup masalahnya seorang diri. Bahkan termasuk menyembunyikannya dari Raka.

"Riko, kamu denger aku gak? Buka pintunya."

Raka tak bisa meninggalkannya begitu saja. Karena, bagaimana jika Riko bukan tertidur melainkan pingsan? Jadi, mau tak mau ia harus mengeluarkan kunci cadangan yang ia simpan diam-diam.

Cklek!

Pintu terbuka. Arah pandang Raka pertama kali langsung terpusat pada meja belajar. Namun, rupanya bukan di sana. Melainkan Riko masih betah di ranjang dan bergelung dalam selimut. Menciptakan gundukan tinggi yang membuat Raka menghela napas. Raka mendekatinya, berdiri di sisi ranjang dan menatap lekat gundukan itu.

"Kamu kenapa, Ko? Sakit?"

Riko merespon dengan anggukan. Ada kelegaan yang menggantikan sesak dalam dada Raka. Ternyata, laki-laki itu tak pingsan seperti apa yang barusan ia takutkan.

"Demam?"

Sekali lagi, Riko mengangguk.

Raka memindahkan pandangannya ke arah bawah, bagian kaki. Tanpa permisi, ia menyingkap sedikit selimut Riko dan menemukan telapak kaki Riko yang telanjang.

"Bohong, ya?"

Kaki yang tersingkap itu perlahan masuk lagi ke dalam selimut. Raka sedikit tersenyum. "Ternyata bener ya kata pepatah, sepandai-pandainya katak melompat, pasti akan terjatuh juga. Kamu mau coba bohong sama aku? Yang dari lahir udah bareng kamu? Kemungkinannya tipis banget, Riko."

D-DAY : Raka dan SuaranyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang