_____________
"Lo makin berisi, ya?"
"Wah, jadi diam-diam seorang Kak Darta merhatiin saya, nih?"
Darta memutar bola matanya. Tersenyum sinis. "Ya iyalah, semua korban gue selalu dalam perhatian gue."
Raka menyentuh pipinya, mencubit-cubit kecil untuk merasakan gumpalan daging di sana. "Iya, emang agak gemuk, ya?"
Plak!
Tamparan tanpa aba-aba itu tidak hanya mengejutkan Raka, tetapi seisi kelas juga dibuat kaget dengan suaranya. Cukup renyah di telinga Darta hingga membuatnya tertawa kecil. Sementara Raka dengan wajah yang tertoleh ke samping dan pipi memerah, ia sedikit terbelalak. Sungguh, ia tak siap akan hal itu. Bahkan tak pernah menduganya. Raka tak berniat membalas, batinnya sibuk memperingati dirinya sendiri. "Oke, tahan. Jangan kepancing, Ka."
"Bener kan? Enak banget buat gue gampar Sasaran empuk."
Raka hanya memasang senyum, memekik senang di dalam hati tatkala bel tanda masuk telah berdering berhamburan di koridor. "Udah masukan tuh, Kak. Jangan sampe telat."
"Gue anggap lo selamat."
Darta meninggalkan bangku di depan Raka. Namun, seolah tak puas dengan apa yang tangannya tadi perbuat, kini kakinya menendang roti Raka yang tergeletak di lantai. Setelah itu ia juga melayangkan kekuatan kakinya ke meja di sebelah Raka hingga menabrak beberapa meja dan bangku yang lainnya. Menyebabkan beberapa bangku itu rubuh.
Seisi kelas bereaksi sama. Terkejut dan hanya bisa diam di pojokan. "Peraturannya kayak biasa, yang ngebantu dia bakal bernasib sama," ancam Darta cukup nyaring kemudian berlalu dari sana.
Raka menyentuh pipinya, masih terasa nyeri. Apalagi, pipi itu adalah tempat di mana ia menerima hal yang sama dari Pramudya semalam. Setelah beberapa detik Raka terhenyak dengan pikirannya, ia teringat sesuatu dan lekas mengedarkan pandangan. Kursi dan meja di dekatnya cukup berantakan. Ia juga bisa melihat bagaimana teman-teman memandangnya takut dan benci.
"Maaf, ya. Gue bakal beresin."
Raka dengan gesit merapikan kelasnya. Ada percakapan yang terdengar samar-samar dan sukses mendistraksi kegiatannya. Sejenak ia terdiam dan menyimak.
"Lagian dia ngapain mau terlibat sama kak Darta, sih?" tanya salah seorang perempuan.
"Iya, ih, gue takut banget. Dia juga tau kan Kak Darta itu gimana?" balas temannya.
"Alpi aja sampai koma dan gak tau sekarang gimana."
"Oh, iya, kasian banget. Apa Raka bakal gitu juga, ya?"
"Gue gak peduli, sih. Toh, dia sendiri yang suka cari gara-gara. Sok pahlawan."
Raka memilih tak acuh. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia hanya kembali ke bangkunya. Duduk dan memandang keluar jendela. Seperti yang biasa ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
D-DAY : Raka dan Suaranya
Teen FictionRaka dan Riko itu ditakdirkan kembar. Namun, itu tak menjadikan bahwa segala aspek dalam kehidupan mereka sama sebagaimana wajah mereka. Mereka memang sama, tapi ruangan mereka seolah berbeda. Ruang yang paling terang adalah ruang milik Riko. Ruang...