Bagian 35

827 142 15
                                    

"SAN!"

"SANDI!"

"Bangsat! Siapa sih?"
Gerutu Sandi menendang selimutnya dan bangun untuk melihat siapa yang menggedor pintunya sedari tadi di pagi hari. Hari ini itu sekolahnya masih libur karena tanggal merah. Tadi malem Sandi baru bisa tidur jam 2 malem gara-gara perasaannya gak enak, tapi baru juga beberapa jam tidur, udah ada yang ganggu dia aja.

"Eh babi! Lo tau ini tuh masih jam 7 pagi, masih pagi buat namu ke rumah orang."
Sungut Sandi pas liat kalo si pelaku yang ngeganggu tidurnya itu Vino dan Bian.

"San, nyokapnya si Ziras meninggal."
Ucap Bian to the poin.

"Seriusan lo? Kapan?"
Tanya Sandi kaget.

"Kemaren."
Jawab Bian.

"Kenapa lo gak ngasih tau gue dari kemaren anjing!"
Sungut Sandi yang buru-buru mengunci pintu kosannya dan langsung berjalan terburu-buru. Bahkan saking terburu-burunya Sandi lupa kalau dia masih koloran.

"Gue juga baru di kasih tau barusan sama si Aka."
Jawab Vino.

"Bangke!"
Amuk Sandi menendang tong sampah punya tetangganya.

Di lain tempat, Aka duduk termenung di teras rumah Ziras. Setelah Ibu Ziras dikebumikan semalam, Ziras terus menyendiri di dalam rumahnya, bahkan Aka gak di perbolehkan masuk oleh Ziras, dia bilang dia ingin sendiri dulu. Maka Aka menunggu Ziras di teras rumahnya, dan sesekali mengintip untuk melihat keadaan Ziras.

Kalau di pikir-pikir, hidup temannya itu selalu malang, satu persatu orang yang dia sayang meninggalkannya pergi. Sekarang Ziras hanya seorang diri di dunia. Mungkin Ziras punya sodara, tapi Ziraspun gak tau sodaranya siapa aja karena Ibunya yang bekerja sebagai kupu-kupu malam, sodaranya gak ada yang mau mengakui mereka sebagai sodaranya.

"Ka, si Ziras mana?"
Aka mendongak ke atas dan melihat Sandi dengan muka kusutnya.

"Di dalem."
Ucap Aka singkat.

Sandi langsung masuk ke dalam rumah, hati Sandi terasa sakit saat melihat Ziras berbaring di lantai, di tempat di mana Ibunya berbaring dengan badan yang kaku kemarin. Dengan baju yang serba hitam, dan dengan pandangan yang kosong. Hati Sandi mencelos melihat Ziras dengan keadaan yang seperti itu. Ziras yang dia kenal selalu ceria, selalu tersenyum lebar, dalam sehari semua itu hilang.

Sandi menghampiri Ziras dan duduk di sampingnya. Wajah Ziras sedikit pucat, matanyapun membengkak. Hanya dari itu saja Sandi udah tau seberapa Ziras merasa kehilangan sosok seorang Ibu. Sandi yakin Ibu Ziras adalah sosok yang baik, sampai membuat Ziras merasa sangat kehilangan seperti itu.

"Ras."
Panggil Sandi pelan, tapi gak ada respon dari Ziras. Si yang di panggil masih terdiam dengan tatapan kosongnya.

"Ras, gue ikut berduka cita."
Lanjut Sandi.

"Maaf gue baru dateng, gue baru...."

"Pergi."
Potong Ziras.

"Hah?"

"Gue bilang pergi."
Ucap Ziras lagi.

"Ras gue..."

"Pergi San, gue gak mau liat lo."
Potong Ziras lagi.

"Maksud lo apa Ras? Gue tau lo lagi berduka, tapi lo gak harus kaya gini."

"Pergi."
Ucap Ziras berbalik memunggungi Sandi.

"Ras lo..."

"Kita keluar dulu San."
Ucap Aka menepuk pundak Sandi.

"Lo berdua di sini, temenin si Ziras jangan ganggu dia."
Lanjut Aka pada Vino dan Bian.

Aka membawa Sandi sedikit menjauh dari rumah Ziras. Mereka duduk di lapangan volly yang beralih fungsi jadi tempat jemuran masal.

"Apa ini?"
Tanya Sandi saat Aka menyerahkan kotak sepatu padanya.

"Hari ini lo ulang tahun, itu dari si Ziras."
Jawab Aka. Sandi membuka kotak sepatu itu dan tersenyum melihat sepatu berwarna putih. Sandi inget waktu itu Ziras sempet protes gara-gara dia setiap hari pake sepatu yang sama. Katanya kasian sama sepatunya di pake tiap hari. Entar sepatunya mabok gara-gara kebauan kaki Sandi. Padahal kakinya gak bau sama sekali.

"Si Ziras bukan orang kaya San, tapi buat lo dia bela-belain kerja di bengkel setiap hari buat ngumpulin duit. Dia pengen beliin sepatu yang bagus buat lo, sedangkan selama ini sepatu yang dia pake bekasan gue semua."
Ucap Aka. Jadi selama seminggu ini Ziras gak ngegerecokin dia itu karena dia kerja buat beli kado buat dia. Dan waktu Ziras mergokin dia sama Ibnu tempo hari dengan baju penuh oli, Ziras baru pulang dari kerjanya di bengkel.

"Kemaren pas pulang beli kado buat lo, dia ngeliat Ibunya udah gantung diri."
Lanjut Aka. Sandi yang baru tau fakta kalo Ibu Ziras meninggal karena itu jelas kaget kaget.

"Seriusan lo Ka?"
Tanya Sandi.

"Gue juga liat langsung San."
Jawab Aka.

"Ibu nya si Ziras itu kupu-kupu malam, si Ziras lahirpun dia gak tau Bapaknya siapa. Ibunya pun gak pernah menganggap si Ziras sama sekali, tapi biarpun kaya gitu si Ziras tetep sayang sama Ibunya, bahkan si Ziras pernah minta bantuan gue buat ngebebasin Ibunya yang waktu itu ketangkap sama polisi. Dia pernah kepikiran buat berhenti sekolah dan kerja aja biar Ibunya gak usah kerja kaya gitu lagi dan gak ketangkap lagi."
Lanjut Aka. Sandi diam, ternyata hidup Ziras lebih sulit dari pada hidupnya. Padahal selama ini Sandi menganggap hidupnya paling sengsara karena orangtuanya bercerai dan mereka sekarang memilih hidup masing-masing termasuk Sandi. Dan ternyata Ziras lebih dari dirinya, tapi dia bersikap seolah hidupnya selama ini baik-baik saja. Dan bodohnya Sandi selama ini gak pernah mau mencari tau tentang Ziras.

"Ka, lo udah tau hubungan gue sama si Ziras?"
Tanya Sandi menatap sendu sepatu pemberian dari Ziras.

"Udah."
Jawab Aka.

"Lo gak jiji?"
Tanya Sandi lagi.

"Si Ziras pernah cerita tentang mantannya yang udah meninggal ke lo?"
Tanya Aka.

"Udah."
Jawab Sandi.

"Dia adek gue San."
Sandi langsung menoleh pada Aka.

"Gak gampang buat si Ziras buat ngelupain adek gue San, lebih tepatnya trauma dia."
Ucap Aka.

"Trauma?"
Tanya Sandi. Satu hal yang Sandi baru tau lagi tentang Ziras, kalau ternyata Ziras memiliki trauma.

"Namanya Aji, dia terpaut 2 tahun lebih muda dari gue. Dulu yang suka duluan itu adek gue, dia ngebet banget suka sama si Ziras. Singkat cerita mereka jadian. Lo tau San, pacaran gaya mereka itu nyeleneh, mereka pacarannya kaya anak SD, adek gue suka bikinin bekel buat si Ziras, dan kalo berduaan nereka bukannya mesra-mesraan, tapi malah belajar bareng."
Kekeh Aka mengingat bagaimana dulu saat Ziras ngapel ke rumahnya sambil bawa tas sekolah yang isinya buku semua.

"Waktu itu pas malam tahun baru, adek gue pergi diem-diem dari rumah bawa motor gue. Dia ngajak si ziras buat jalan-jalan, dan hari itu jadi jalan-jalan terakhir mereka. Ada mobil yang nabrak mereka dari arah berlawanan, adek gue meninggal di tempat, sementara si Ziras di rawat di rumah sakit beberapa minggu dalam keadaan kritis, udah sukur dia bisa hidup sampai sekarang juga. Dan lo tau San, gimana traumanya kehilangan orang yang lo sayang di depan mata lo sendiri. Sampai detik inipun dia masih nyalahin diri dia sendiri atas kepergian adek gue. Gak gampang buat si Ziras ngebuka hatinya buat orang baru lagi San, dan orang itu elo."
Lanjut Aka.

"Gue tau lo gak cinta sama si Ziras."
Ucap Aka.

"Bukan enggak Ka, tapi belum."
Sandi bukannya gak suka sama Ziras. Rasa itu udah ada tapi Sandi enggan untuk mengakuinya.

"Gue paham, sekarang lo lebih baik balik aja San. Biar gue sama anak-anak yang nemenin si Ziras."
Lanjut Aka.

"Enggak Ka, gue bakal nemenin si Ziras, walau dari luar."


.
.
.
.

Tbc.


SELAMAT MALAM MINGGU UNTUK PENGIKUT PARTAI JOMBLO SEJAHTERA INDONESIA.


KUY DI VOTE!

SandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang