Bagian 36

963 132 9
                                    

"Ka, lo liat motor gue gak?"
Tanya Vino. Perasaan tadi dia bawa motor, tapi kenapa pas di cariin motornya gak ada. Gak mungkin kalau motornya di colong orang, sementara mereka sedari tadi ada di depan rumah. Kalau motornya di colong pasti keliatan.

"Lah, lo nyimpennya dimana tadi? Kenapa malah nanya ke gue."
Ucap Aka. Kenapa Vino nanyain motor ke dia? Aka gak ada waktu buat merhatiin motornya Vino. Aka sibuk ngurusin Ziras.

"Kalo gue tau gue gak akan nanya ke lo Ka."
Ucap Vino.

"Mana tuh motor belom Bapak gue lunasin lagi."
Lanjut Vino. Aka mengedikan bahunya gak perduli, toh cuma motor bebek metik biasa aja. Kalo beneran ilang biar Aka ganti nanti.

"Gimana Bi, si Ziras?"
Tanya Sandi yang ngeliat Bian keluar dari dalam rumah.

"Dia gak mau makan."
Jawab Bian. Sedari tadi Bian ada di dalam rumah buat ngebujuk Ziras makan. Udah berbagai jurus Bian lakuin buat ngebujuk Ziras makan, dari mulai jurus kereta api masuk keterowongan, di iming-imingin kalau makan nanti di kasih balon jajar gemjang, bahkan jurus ratapan anak tiripun Bian lakuin, tapi Ziras kekeuh gak mau makan.

Aka menghela nafas dan berdiri.
"Biar gue aja."
Ucap Aka masuk kedalam rumah.

"Bi, lo liat motor gue gak?"
Tanya Vino.

"Eh bego! Motor kita kan kita tinggal di kosannya si Sandi. Lo lupa atau ilang ingetan? Kita kan jalan kaki tadi."
Jawab Bian. Mereka memang bawa motor tadi, tapi motor mereka di simpan di kosannya Sandi, mereka jalan kaki dari kosann Sandi sampai rumah Ziras tadi, saking terburu-burunya mereka sampai lupa punya motor.

"Gue lupa."
Cengir Vino.

Sementara itu Sandi terus menatap pintu rumah Ziras yang tertutup. Sandi gak tau kenapa Ziras gak mau ketemu sama dia, padahal kalo itu Vino, Bian bahkan Aka, Ziras gak menolak buat ketemu mereka, tapi kenapa Ziras gak mau ketemu sama dia? Semarah itu kah Ziras sama kejadian tempo hari saat di kafe? Harusnya malam itu Sandi menahan Ziras untuk gak pergi dan menjelaskan semuanya langsung pada saat itu, biar Ziras gak salah paham, biar Ziras gak marah kaya gini.

"Ras, lo harus makan."
Bujuk Aka ke Ziras yang lagi duduk di lantai bersandar pada tembok.

"Gue gak laper Ka."
Jawab Ziras.

"Lo belom makan dari kemaren Ras, kalo kaya gini, lo sama aja nyiksa diri lo sendiri."
Ucap Aka.

"Ka, apa hidup Ibu gue semenyakitkan itu sampe dia milih buat mengakhiri hidup dia sendiri?"
Tanya Ziras. Apa hidup Ibunya selama ini menyakitkan untuk di jalani, sampai Ibunya memilih untuk pergi meninggalkan muka bumi ini, meninggalkannya sendirip?

"Gue gak tau apa-apa tentang Ibu gue Ka."
Selama ini Ziras gak tau tentang Ibunya. Apa kah Ibunya bahagia, apa Ibunya sedang sedih, apa Ibunya sedang sakit. Ziras gak tau apapun tentang Ibunya selama ini. Yang dia tau Ibunya hanya seperti itu.

"Mungkin, kalo gue bisa lebih deket sama Ibu gue, dia gak akan pergi dengan cara kaya gini Ka."
Andai saja Ziras mendekatkan diri dengan Ibunya, mungkin Ibunya ada tempat untuk berbagi sedikit keluh kesahnya. Mungkin Ibunya gak akan merasa sendiri di dunia ini, mungkin Ibunya akan berpikir lagi untuk mengakhiri hidupnya karena ada dia, anaknya.

Selama ini Ziras merasa gak di anggap oleh Ibunya, dan di jauhi oleh Ibunya. Harusnya Ziras gak menjauhi Ibunya balik. Selama ini Ziras lebih memilih pergi jika Ibunya ada di rumah, Ziras lebih memilih tidak pulang dan membiarkan Ibunya sendiri, yang mungkin saat itu sedang banyak beban pikiran, dan merasa kesepian.

"Gue yang selalu ngira kalo selama ini Ibu gue benci gue, tanpa pernah gue kepikiran, kalo Ibu gue mau susah-susah buat ngelahirin gue, bawa gue di perut dia selama 9 bulan."
Ucap Ziras dengan suara yang mulai parau.

"Dari kecil gue di urus sama kakek gue, tapi pas kakek gue gak ada, Ibu gue gak ngebuang gue Ka, dia gak ninggalin gue. Dan gue baru sadar kalo selama ini Ibu gue gak benci sama gue, dia cuma gak tau caranya deket sama anaknya yang jauh dari dia."
Isak Ziras.

"Kenapa gue baru sadar sekarang Ka?"
Aka memeluk Ziras, membiarkan temannya itu menangis meraung untuk meluapkan semua kesedihannya.

"Gue rindu Ibu gue Ka."
Isak Ziras.

Di luar Bian dan Vino yang mendengar tangisan Ziras, mereka ikut menangis. Mereka gak pernah menyangka kalau Ziras yang selama ini selalu terlihat bahagia, selalu tertawa dan bercanda tanpa pernah terlihat memiliki beban hidup, ternyata sekalinya Ziras menangis, sekalinya Ziras bersedih bisa sampai seperti ini. Ziras bisa membuat perasaan mereka ikut sakit, hati mereka ikutan potek.

"Bego! Lo jangan mewek. Muka lo jelek."
Ucap Bian sambil teriasak.

"Muka lo juga jelek anjing!"
Protes Vino sambil terisak juga.

"San, lo gak mewek?"
Tanya Bian yang melihat Sandi lempeng-lempeng aja dari tadi.

"Bego! Si Sandi kan gak punya hati."
Ucap Vino.

Sandi menatap Pintu rumah Ziras dengan nanar. Lebih dari menangis, Sandi ingin berlalri memeluk Ziras dan menangis bersama cowok itu. Sandi ingin bersama Ziras, ikut merasakan kesedihan cowok itu. Sandi ingin, tapi Sandi gak bisa. Dia gak mau bikin Ziras marah.

"Gue balik."
Pamit Sandi yang bikin Vino sama Bian melongo. Bisa-bisanya Sandi malah mau pulang, di saat temannya lagi berduka dan butuh teman untuk menemani.

"San, kok lo malah balik? Itu si Ziras lagi mewek."
Ucap Vino.

"Nanti gue balik lagi."
Jawab Sandi sambil melenggang pergi.

"Mungkin si Sandi mau boker kali No."
Bian dan otaknya.

Tanpa mereka tau, sepanjang perjalanan ke kosannya Sandi menangis sesegukan, sampai orang-orang memperhatikannya pun Sandi gak perduli. Sandi udah gak sanggup untuk menanhan air matanya, menahan rasa sakit di hatinya karena hanya bisa melihat Ziras tanpa bisa melakukan apapun untuknya. Hatinya sakit saat mendengar raungan penuh kesedihan dari Ziras.

Sandi terdiam saat melihat Ibnu sedang berdiri di depan kosannya.

"San, kamu kenapa?"
Tanya Ibnu panik saat melihat Sandi berdiri gak jauh darinya dengan pipi basah sambil terisak.

"Kamu nangis kenapa?"
Tanya Ibnu menghampiri Sandi dan mengusap pipinya yang basah dengan kedua tangannya.

"Ada yang ngejahatin kamu?"
Tanya Ibnu.

"Atau kam...."

Greb, Ibnu terdiam saat sandi tiba-tiba memeluknya, dan menangis di pelukannya.

"Gue mohon lepasin gue Nu, biarin gue sendiri."
Isak Sandi. Dia udah gak tahan lagi terus di bayang-bayangi oleh Ibnu. Bahkan saat Sandi memulai hubungan baru dengan Ziraspun, Ibnu masih membayangi hubungan mereka. Sandi ingin bebas, Sandi ingin hubungannya dengan Ziras berjalan dengan semestinya, seperti pasangan yang lainnya.

"Maaf San, aku gak bisa."

.
.
.
.

Tbc.

Ibnu jahat lo, kasian si Sandi.

KUY DI VOTE!

SandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang