Happy Reading ❤️
"Karena kamu, aku bisa merasakan bagaimana rasanya dihancurkan setelah diberi harapan. Dan itu sangat menyakitkan."
-Naura Azkia-🌼🌼🌼
Dilain tempat, di area yang sama, Naura menyandarkan kepalanya di pundak Gibran. Keduanya memilih mencari tempat yang sepi. Karena sore ini pantai tersebut cukup dipenuhi pengunjung.
"Senjanya indah banget ya Ra?"
Naura mengangguk samar. "Iya, indah. Tapi gue benci." Lirihnya.
Ujung mata Gibran melirik kearah Naura. "Kenapa?"
Naura mengangkat kepalanya dari bahu Gibran. Lalu, ia menatap lurus kearah laut yang membentang luas didepannya.
"Karena senja, gue harus teringat kenangan itu. Kenangan indah, yang tanpa gue sadari sekarang sudah bertransformasi menjadi kenangan menyakitkan dalam hidup gue."
Sepertinya Gibran memang belum mengenal sepenuhnya siapa Naura. Karena ia sendiri tidak tau bahwa gadis itu ternyata juga harus menyimpan sesuatu yang menyakitkan seperti ini.
Tanpa membalas ucapan Naura, Gibran merangkul bahu gadis itu, dan membiarkan jarak antara mereka terkikis.
"Waktu gue kecil, pantai adalah salah satu tempat favorit gue. Setelah papa mengenalkan keindahan senja pada Naura kecil. Tiap minggu, saat papa libur kerja pasti papa ngajak gue, mama, dan bang Kenzie ke pantai. Dan selalu dengan tujuan menikmati langit sore. Dengan itu, papa berhasil membuat gue masuk kedunianya. Dunia dimana gue dikenalkan dengan beberapa filosofi senja."
Gibran membiarkan Naura bercerita. Mungkin dengan ini, gadis itu bida merasa lebih baik.
"Tapi tanpa gue sadari, ternyata kenangan manis itu menghilang bersamaan dengan hilangnya papa dari sisi kami. Papa harus pergi sebelum sempat menyaksikan anaknya dewasa." Tepat setelah kalimat itu terucap, air mata dipelupuk Naura pun seketika turun membasahi pipinya.
"Selama sepuluh tahun terakhir, semua kenangan manis yang papa tinggalkan menjadi menyakitkan baik bagi gue maupun mama dan bang Kenzie. Senyum papa sore itu tercetak jelas di memori gue. Dan itu sangat menyakitkan. Karena gue hanya bisa mengingat semuanya dalam ingatan samar tanpa objek nyata di depan mata gue."
Gibran membawa Naura dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menumpahkan tangisannya. Ia tak tau jika senja objek yang paling disukai oleh kebanyakan orang, malah menjadi objek paling menyakitkan bagi Naura.
"Gapapa Ra, doakan aja papa lo, semoga beliau mendapat tempat terbaik disisi Nya. Allah pasti akan mengganti sesuatu yang kembali kepada Nya dengan lebih baik lagi." Kata Gibran mencoba menenangkan Naura. Tanganya terulur mengelus puncak kepala gadis itu.
"Gu..e kangen.. papa Gib..." Lirih Naura ditengah tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Elusan itu pun masih Gibran berikan untuk menenangkan Naura.
Naura benci menangis di depan orang lain. Tapi entah kenapa, di depan Gibran, dirinya berani mengeluarkan sisi rapuhnya. Tanpa sadar, ia sudah merobohkan benteng yang selama ini ia bangun. Ia juga tak menyangka, bahwa Gibran, sosok lelaki fakboy yang memaksa masuk kedunianya, berhasil menyeretnya untuk jatuh lebih dalam.
Beberapa menit berlalu. Matahari yang diujung sana pun sudah tenggelam. Sehingga langit pun perlahan menggelap. Naura pun akhirnya bisa kembali tenang. Air matanya sudah mulai mengering.
"Ra, izinkan gue menjadi lelaki yang menjadi tempat lo berpulang, tempat lo berkeluh kesah, dan tempat lo bahagia." Gibran menatap lekat manik mata Naura.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVANESCENT : Serpihan Luka
Teen FictionSemua luka pasti ada obatnya. Memang seperti itulah hukum alam yang berlaku. Namun, bagaimana jika obat yang paling kita percayai dapat menyembuhkan, justru adalah penyebab terbukanya satu luka milik kita? Menyakitkan memang. Tapi itulah yang Naura...