Chapter 1. 2023

737 42 1
                                    

Pembawa sial!

Apakah aku memang si pembawa sial seperti yang mereka katakan?

"Sejak melahirkanmu, hidupku hanya berisi derita. Suamiku meninggal. Aku kehilangan pekerjaan. Putraku yang kecil harus pergi karena tidak mampu membayar biaya pengobatannya. Rumah yang dengan susah payah kubeli kini musnah dilalap api." Wanita itu berhenti, sesekali menepuk dadanya seolah mencoba menenangkan amarah yang menggumpal. "Apa lagi yang kau inginkan? Kau adalah pembawa sial, pembawa kesialan bagi seluruh keluarga ini!"

Aku berdiri di sana, tubuhku gemetar, menatap adikku yang duduk dengan tenang di lantai keramik yang penuh bocel. Senyum polosnya, yang seharusnya membuatku merasa hangat, kini justru menambah perasaan cemburu yang semakin menyesakkan. Mengapa ibu selalu menyalahkanku? Mengapa aku yang harus menanggung semua ini?


Setiap pulang sekolah, aku mencari kayu bakar di dalam hutan. Menjualnya pada tetangga sekitar yang memang sudah menjadi langgananku. Terkadang aku dimintai tolong menjajakan gorengan berkeliling kampung. Saat melihat teman-temanku, sebisa mungkin aku menghindar. Kalau pun tidak, aku harus berlapang dada menerima beragam ucapan mereka yang merendahkan: aku anak orang miskin, tidak punya sepatu, seragam bau, dan yang paling menyakitkan ... aku tidak punya ayah untuk membelaku.

Malam itu, saat aku berjalan pulang, tubuhku lelah dan lemas setelah seharian bekerja, aku kembali memberikan sebagian kecil penghasilanku kepada ibu. Tapi bukan pujian yang kudapatkan. Ibu malah meminta lebih. Lagi. Dia tak pernah puas. Aku selalu merasa hidupku ini tidak ada artinya. Jika ayah masih ada, mungkin aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan. Tapi apa daya, kematiannya yang tragis membuatku terjebak dalam dunia yang penuh penolakan.

Kematian ayah yang mendadak sebab menjadi korban pembunuhan tetangga kami yang gila, merupakan awal pengucilan diriku dalam lingkungan anggota keluarga yang tersisa--Ibu kandungku dan adik perempuanku yang berusia empat tahun.

Pada hari ulang tahunku yang ke sepuluh, aku menerima hadiah yang tidak akan pernah kulupakan selama sisa hidupku ... diusir dari rumah. Ibuku beralasan sudah tidak sanggup membiayai hidupku. Kemiskinan yang senantiasa membelit kami bagai parasit, membuatnya menyerah untuk menanggung biaya hidupku yang dianggapnya sebagai beban terberat.

"Kabutuhanmu semakin banyak dan meningkat, tapi aku tidak sanggup lagi untuk merawatmu."

Meski wanita itu berkata secara baik-baik. Namun, dampak yang kurasakan jauh dari kata baik-baik. Kekecewaan yang kutanggung membuatku tidak dapat menangis meraung-raung, padahal saat itu hatiku hancur. Entah karena aku sudah memperkirakan hal ini atau karena hatiku sudah kebal dengan segala kata-kata penindasan yang mengiringi pertumbuhanku selama tiga tahun terakhir.

Seandainya saja aku boleh meminta pada Yang Maha Pencipta, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tak peduli bila mataku sakit karenanya, aku akan tetap menangis hingga tertidur. Terlena di alam mimpi bersama ayahku. Tidak bangun pun tidak apa, setidaknya aku tidak lagi merasa sakit hati.

Tidak lama setelah kepergianku, ibu dan adikku meninggalkan kampung ini. Menurut tetangga, ibu kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat. Aku tahu kampung halaman wanita itu dan sempat terpikirkan untuk mengikutinya diam-diam. Namun, urung kulakukan. Begitu dia melihatku, aku pasti akan disuruhnya pergi lagi. Jadi aku memilih bertahan di sini sebab tak tahu lagi ke mana harus pergi.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang