Chapter 10. Bhumi Javacekwara (9)

149 15 0
                                    

Anatari menarik napas dalam-dalam, meraup ketenangan yang berhamburan. Perutnya terpilin melihat darah merembes kaluar dari sisi kanan perut si pria nahas, menggenang ke bawah bokong. Tatapannya naik pada dindng kayu di belakang mayat si prajurit. Mulut Anatari bergerak melafalkan satu per satu aksara jawi yang dibacanya tanpa mengeluarkan suara. Mulanya dia tidak mengerti, mengulang hingga dua kali, barulah dia memahami: Manusia yang bersembunyi dibalik topeng tidak akan pernah menjadi utusan Dewata.

"Apa maksud pesan di dinding? Kepada siapa pesan itu ditujukan? Siapa pria yang terbunuh itu? Atas alasan apa dia dibunuh?" tanya Anatari, lambat-lambat.

Abinawa menghalangi sumber keingintahuan Anatari dengan tubuhnya seraya berkata, "Aku akan mengantarmu kembali ke keputren."

"Aku belum dapat jawaban atas pertanyaanku."

Manik cokelat terang Abiwana tak lagi menunjukkan keramahan. "Kau tidak memiliki krediblitas untuk mengetahui jawabannya."

Tak. Perhatian empat orang yang berada di dalam ruangan teralihkan oleh suara yang bersumber dari atap. Abinawa memberi isyarat mata agar Sagara lekas memeriksa keadaan di luar. Selang beberapa saat kemudian, terdengar suara perkelahian dari sisi kiri luar bangunan. Bunyi debam keras menggetarkan dinding kayu tua. Instingtif Anatari menggerakkannya ke belakang punggung Abinawa.

"Taruna, antar Gusti Raden Ayu kembali ke kediamannya," perintah Abinawa.

"Sendiko."

Abinawa berkelebat menysusul Sagara yang sibuk meladeni jurus-jurus seseorang yang wajahnya tersembunyi di bawah topi caping yang dikelilingi kain hitam. Abinawa mengamati perkelahian keduanya dari tepi lapangan berpasir di belakang kediamannya. Dahinya berkerut. Tangan kananya mengepal di depan pinggang, yang kiri mengepal geram di samping tubuhnya.

Tenaga dalam orang itu jauh lebih baik dari Sagara. Dia tidak akan mampu menahannya cukup lama. Jika memaksakan diri, takutnya orang itu akan mengeluarkan jurus yang tidak dapat dihalau Sagara, pikir Abinawa.

Abinawa menjejakan satu kakinya ke depan, mendorong tubuhnnya meluncur ke udara. Teriakan Anatari terdengar santer seketika, membuat Abinawa mengurungkan niat membantu kepala pengawalnya. Konsentrasinya terpecah. Tubuhnya terbanting ke atas tanah.

Pria caping mengulurkan tangannya pada Anatari. Taruna menghalau serangannya, mengakibatkan tubuhnya terpental ke belakang, melewati perempuan yang berdiri gemetar melihatnya. Anatari pernah menyaksikan pertarungan sengit yang serupa sebelumnya. Dia selalu merasa bersemangat juga gemas kala para pendekar sakti mandraguna beradu jurus yang mereka kuasai, berusaha saling melukai, mengalahkan, bahkan membunuh. Dia akan ikut puas kala penjahat bertekuk lutut meminta pengampunan. Tetapi, semua itu disaksikannya melalui layar kaca. Sementara, sekarang, dia menyaksikan secara live, real time, nyata, di depan mata, dan ... rasanya ... sangat berbeda.

Abinawa memungut beberapa butir batu putih, melemparnya pada si penyerang. Tiga batu itu mengenai titik vital di leher, pelipis, dan belakang telinga. Saat perhatian musuhnya teralihkan, Sagara memukul punggung lawannya dengan tenaga dalam yang dipusatkan pada telapak tangannya.

Pria itu berguling ke depan. Taruna merentangkan tangannya di depan Anatari agar perempuan itu mundur beberapa langkah dari orang yang telah mencoba menyerangnya.

"Siapa kau?" Ucapan Abinawa terdengar tenang. Namun, tidak dengan matanya yang berkilat tajam.

Anatari merasakan dalam beberapa kali pertemuannya dengan Abinawa, pria itu memiliki aura kaum ningrat dengan etika sempurna, ramah, dan tenang. Berbanding tiga ratus enam puluh derajat dengan apa yang dilihatnya malam ini; dingin, tegas, dan sedikit kilatan mata yang kejam.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang