Chapter 13. Bhumi Javacekwara (12)

128 17 0
                                        

Mahesa menahan luapan emosi yang merangkak menuju ubun-ubun. Sekuat rasa mempertahankan pemikiran positif mengenai keputusan ayahandanya--walau sulit. Karena pada akhirnya, dia yang selalu tidak beruntung.

Ibundanya memberontak karena gelap mata, terdorong kecemburuan pada permaisuri pertama yang akhirnya memiliki seorang putra. Posisi yuwaraja yang pernah disandangnya harus dia relakan untuk Abinawa, meski kepadanyalah awal posisi itu dijanjikan.

Tugas-tugas yuwaraja di luar Bhumi Javacekwara selalu dibebankan padanya sebab tubuh lemah Abinawa, sedangkan semua hasil kerja kerasnya diatasnamakan Yuwaraja Abinawa Wiradharma. Sekarang pun, sesuatu yang paling berharga juga telah direnggut darinya. Haruskah dia tetap menahan diri melihat jantung hatinya dialihtangankan pada adiknya?

Kecewa, sedih, dan marah menjalari aliran darahnya. Menyerap ke dalam hati, menjadi racun yang mengebaskan dirinya dari segala rasa sakit.

Cengkraman tangannya mengendur. Perlahan mengangkat kepala dengan wajah penuh senyum. Seulas senyum yang menyakitkan hatinya. "Tidak ada yang dapat hamba katakan. Petuah dari Ayahanda sudah hamba pahami dan akan hamba ingat dalam hati."

Sri Maharaja II tidak menanggapi.

Manik gelap Indukanti mengunci sosok Mahesa. Naluri keibuannya tergerak untuk berkata, "Putraku Mahesa. Aku berdoa semoga Acintya memberikan yang terbaik untukmu."

Mahesa tertohok mendengar Indukanti memanggilnya, "Putraku". Sebuah panggilan yang teramat diinginkan olehnya selama ini. Sebuah panggilan yang membuatnya merasa diakui. Tetapi, kini kata "Putraku" terasa menakutkan. Terdengar seperti bujukan untuk mengalah.

Menganggapku sebagai putra, bukankah sudah terlambat! pikir Mahesa.

Mahesa minta undur diri dengan sopan, merasa tidak ada gunanya lagi terus berdiam diri di sana, hanya menambah luka di hati. Beruntung ayahandanya memberikan widi.

Anatari hendak berdiri, tetapi tangan Abinawa memegangi selendangnya.

"Hindari masalah," gumam Abinawa.

Anatari melirik Abinawa yang tak terpengaruh oleh suasana. Sikapnya tenang dan ekspresinya elusif.

Ya. Anatari harus menahan diri. Gerakan matanya terus mengikuti Mahesa hingga pria itu menghilang di balik gapura pura. Dia mengusap air matanya. Duduk kembali di tempatnya. Sementara itu, Falguni bertanya-tanya melihat sikap Anatari yang sentimental.

Diskusi berlanjut mengenai pembicaraan upacara pernikahan dan pemberian gelar baru bagi Anatari. Para dharmmadyaksa memberikan saran-saran terbaiknya demi kelancaran semuanya.

Anatari tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Dia merasa bersalah karena ikut menyakiti hati Mahesa. Seandainya ada pilihan yang lebih baik untuk mereka berdua, dia ingin sekali melakukan yang terbaik untuk pria itu.

Kenangan Anatari Lingga mengenai Mahesa yang dilihatnya melalui ingatan Falguni, membangkitkan memori masa-masa mereka menjalin kisah kasih. Walau jantungnya kini tak lagi berdetak kala bibirnya mengucap nama pria itu, tetapi dia tidak dapat memungkiri bahwa semua kenangan indah bersama Mahesa akan selalu menjadi bagian hidupnya.

Setelah cukup lama membicarakan rangkaian prosesi pernikahan bersama para dharmmadyaksa, Anatari mengejar langkah Abinawa di tengah cuaca terik musim kemarau.

"Kita harus bicara!" seru Anatari.

Beberapa kalawija dan waracethi yang berlalu lalang, melirik penuh minat ke arah keduanya.

Tubuh Abinawa hanya berbalik setengah gerakan. Matanya tertuju pada selendang yang terentang, berkibar disapu angin. Tatapannya menerus pada ujung selendang yang dipegang Anatari. Perempuan itu melemparkan ujung selendang setelah mendapatkan perhatian pemiliknya.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang