Setelah kepergian Janardana yang memimpin pasukan menuju Bhumi Acarya, Sri Maharaja II memerintahkan penutupan pintu gerbang utama juga pintu gerbang di dalam wilayah kerajaan yang berdiri kokoh di setiap muka jembatan kayu. Jumlah prajurit yang berjaga dilipat gandakan, ronda malam diberlakukan, dan larangan keluar malam diterapkan pada semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Kabut putih tipis dan hampir tak terlihat merayap masuk perlahan ke dalam wilayah kerajaan. Orang-orang yang tidak memiliki ilmu kanuragan juga yang memiliki ilmu kanuragan tingkat rendah, berjatuhan satu persatu. Entah prajurit, orangtua, anak muda, dari yang kecil hingga besar usianya, dapat ditaklukkan dengan mudah. Gerbang utama terbuka lebar. Mahesa dan Jiera melangkah masuk tanpa hambatan. Barisan besar pasukan Bhumi Namaini berhasil menyerbu masuk tanpa perlu mengorbankan banyak nyawa yang tidak diperlukan.
Ratusan anak tangga terbentang di hadapan mereka, seseorang berdiri menyambut keduanya.
"Ini saat yang tepat. Abinawa telah meninggalkan Girilaya," ucap Mahamantri Adiyaksa.
Anatari terduduk lesu mendengar penuturan Liyem.
"Kami tidak sadarkan diri saat kejadian itu berlangsung. Tapi seperti itulah berita yang tersebar ke seluruh lingkungan kerajaan," ucap Liyem di tengah isak tangisnya.
"Abinawa benar-benar tidak ada di Javacekwara." Anatari berusaha menguatkan diri.
Liyem dan Jiyem menjawabnya dengan gelengan kepala.
Anatari melangkah keluar kediamannya. Para prajurit yang berjaga langsung mengelilinginya. Anatari menunduk. Menahan tangisnya. Hatinya sakit sebab tidak dapat melakukan apapun. Meridiannya yang rusak membuatnya lemah. Dengan kondisi tubuh yang tidak memiliki tenaga dalam, dia tidak akan mampu melawan pasukan Bhumi Namaini yang mengepungnya. Dia tidak memiliki kuasa untuk melawan semua ini.
"Jangan mengelilingi Gusti Kangjeng Ratu Javacekwara seperti itu, keberadaan kalian menyakiti matanya."
Para prajurit menyingkir. Anatari melirik perempuan yang penuh percaya diri itu beringsut mendekatinya. Diamatinya wajah pucat Anatari. Tepian rambut panjangnya sedikit bergerak terkena hembusan angin, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kemban dan sinjang yang melekat ditubuhnya tampak begitu sederhana.
"Jadi, beginikah penampilan asli Mawar Liar yang tersohor dari Girilaya? Sudah lama aku mendengar kabar tentang kecantikan dan kehebatanmu." Ujung kuku Jiera, menempel di pipi Anatari. Anatari bergerak menghindar. "Sepertinya kabar itu terlalu berlebihan. Kau tidak begitu cantik, meski kuakui kau manis saat tersenyum angkuh. Dan tidak hebat sama sekali. Aku kecewa karena tidak memiliki musuh yang setara."
"Aku jenuh mendengar bualanmu," celetuk Anatari.
"Ah, ya, ada satu kabar lagi yang kudengar tentangmu. Para pedagang bilang, kau bermulut tajam," ujar Jiera, tidak mengacuhkan ucapan Anatari.
"Di mana Mahesa? Aku ingin menemuinya," tegas Anatari.
"Sri Baginda, um ... biar kupikirkan."
Anatari benar-benar tidak ada waktu meladeni omong-kosong Jiera, Putri Mahkota yang tidak dikenalnya. Begitupun dirinya bagi Jiera. Jadi, untuk apa dia melibatkan diri dengan orang yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. "Aku akan mencarinya sendiri."
Jiera memberikan isyarat agar tidak ada satupun dari prajuritnya yang menghalangi Anatari. "Aku baru ingat, Sri Baginda ada di kediamannya."
Berbekal informasi yang diberikan Jiera, langkah Anatari bergegas menuju kedimaan Mahesa. Nyeri yang berasal dari jalur meridiannya tidak dia hiraukan sama sekali. Hatinya saat ini begitu sesak dan sakit. Dia tidak ingin bertemu atau berbicara pada siapapun, kecuali Mahesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasi"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala yang hidupnya penuh kesialan, berniat bunuh diri. Akan tetapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak termuat d...