Anatari meregangkan tubuhnya di atas babragan, sudah lama dia tidak merasakan tidur senyenyak ini. Tangannya terentang ke samping, mendarat di atas sesuatu yang hangat dan bergerak lambat. Anatari membuka matanya, mendapati Abinawa masih tertidur di sampingnya. Tangan Anatari yang berada di diafragma Abinawa, merasakan tarikan napas yang teratur. Pria itu tidur dengan tenang dan damai. Anatari buru-buru bangun, mengendap-endap turun.
Abinawa mengaitkan tangannya ke pinggang Anatari, merebahkan kembali tubuh perempuan itu dalam pelukannya. Anatari membelalak saking terkejutnya, memantik debar jantungnya.
"Kau sudah bangun?" tanya Anatari tidak begitu jelas sebab suaranya tertahan di kerongkongannya.
Abinawa membenamkan kepalanya ke leher Anatari. "Hari ini aku tidak ini melakukan apapun. Maukah kau tetap menemaniku di sini."
"Ada apa dengamu, Abinawa? Apa kau sakit?" tanya Anatari.
Abinawa mengeratkan pelukannya. Tak ada kata-kata yang dimuntahkannya. Anatari cemas juga curiga mendapati Abinawa tiba-tiba berubah sikap dalam semalam.
"Abinawa, kau baik-baik saja?" tanya Anatari, sedikit cemas.
"Apa kau masih mengingat ketakutan dan kebencianku?" tanya Abinawa, teredam.
"Kau takut kehilanganku, juga benci bila harus kehilanganku. Kenapa kau menanyakannya? Jangan-jangan kau sendiri yang melupakannya," jawab Anatari.
"Aku sedang berpikir bagaimana caranya agar aku tidak kehilanganmu."
Anatari membalikkan badannya. Memegang wajah Abinawa dengan kedua tangannya. "Kenapa kau memiliki pemikiran seperti itu? Kau mengetahui sesuatu?"
Air muka Abinawa tampak kusut. Dengan suara parau dia bertanya, "Anatari, andai saja aku yang bertemu denganmu lebih dulu, akankah kau menyukaiku?"
Anatari melepaskan diri dari pelukan Abinawa, memilih duduk di tepi babragan. "Apa yang sedang kau bicarakan, Abinawa?"
Abinawa melakukan hal yang sama dengan Anatari, duduk di sebelahnya. "Aku tahu kau hanya menyukai kangmasku. Aku pun tidak ingin memaksakan perasaanku kepadamu. Jika kau tidak menghendaki hubungan ini, aku akan melepasmu. Dengan melepasmu lebih awal, maka aku tidak akan merasa terlalu kehilangan."
"Kenapa masalahnya jadi melankolis seperti ini? Tujuan kita kemari bukan untuk mempertanyakan perasaan kita masing-masing. Aku ingin mengeluarkan Mustika Naga dari dalam tubuhku. Kalau dia terus memakan energi intiku, maka aku akan mati. Aku tidak mau mati, Abinawa. Aku harus tetap hidup!" tegas Anatari.
Anatari bertekad untuk tetap hidup sebelum menyelesaikan misinya. Bila harus mati saat ini, maka perjalanannya melintasi ruang dan waktu hanyalah kekonyolan belaka. Jiwanya pun akan ditelan dunia ini. Sungguh kerugian yang sangat besar bagi Anatari dan dia tidak ingin mengambil resiko apapun yang mempertaruhkan keberhasilan misinya.
"Kau benar. Maafkan aku telah mengungkit hal yang tidak seharusnya," ucap Abinawa, tetap tenang.
"Sebaiknya kau jernihkan pikiranmu. Aku akan menemui bibiku," kata Anatari.
"...."
Anatari pergi menghadap Falguni di Pendopo Besar, tapi wanita itu tidak berada di sana. Dia lantas mencarinya ke Pendopo Kesunyian yang berada di puncak tebing batu. Namun keberadaan Falguni tak terendus jejaknya. Anatari menanyai para pengawal Falguni, tidak ada satupun dari mereka yang tahu keberadaan sang ratu.
Anatari memasang wajah cemberut, kembali ke kediamannya. Abinawa juga telah raib dari tempat itu. Anatari berlari ke sana kemari menanyai kalawija dan waracethi mengenai ke mana perginya Abinawa. Di antara mereka tidak ada satu pun yang memberi petunjuk. Seorang prajurit yang melihat Anatari yang gelisah, memberanikan diri menghampiri dan mengatakan bahwa dia melihat Abinawa keluar kedaton seorang diri tanpa membawa serta kudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasi"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala yang hidupnya penuh kesialan, berniat bunuh diri. Akan tetapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak termuat d...