Chapter 24. Bhumi Girilaya (2)

123 14 0
                                    

Anatari meregangkan tubuhnya di atas babragan, sudah lama dia tidak merasakan tidur serenyap tadi malam. Tangannya terentang ke samping, mendarat di atas sesuatu yang hangat dan bergerak lambat. Dia membuka matanya, mendapati Abinawa masih tertidur di sampingnya. Tangannya yang berada di diafragma pria itu, merasakan tarikan napas yang tenang dan damai. Dia buru-buru bangun, mengendap-endap turun.

Abinawa mengaitkan tangannya ke pinggang Anatari, merebahkan kembali tubuh perempuan itu dalam pelukannya. Anatari yang tak siap terkesiap, memantik kegugupan di detak jantungnya.

"Kau sudah bangun?" tanya Anatari tidak begitu jelas sebab suaranya tertahan di kerongkongannya.

Abinawa membenamkan kepalanya ke tengkuk Anatari. "Hari ini aku tidak ingin melakukan apapun. Maukah kau tetap menemaniku di sini?"

"Menemanimu di sini? Ugh, sepertinya tidak mungkin. Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan segera. Apa kau sudah lupa kalau yang lainnya sedang menunggu kita di Kertarta." Anatari berusaha mengendalikan suaranya agar tidak gemetar.

Abinawa mengeratkan pelukannya. Dia tidak melupakan keberadaan orang-orang yang menunggunya di Kertarta, hanya saja saat ini dia sedang mencerna perasaannya pada Anatari. Jika perempuan yang berada dalam pelukannya benar-benar mati setelah mengeluarkan Mustika Naga, akankah dirinya mengerti artinya kehilangan, atau perasaannya datar tanpa kesan. Abinawa ingin memastikannya. Dia tidak ingin memiliki penyesalan atas apa yang akan dia putuskan kemudian.

Anatari cemas juga curiga mendapati Abinawa tiba-tiba berubah sikap dalam semalam. "Abinawa, kau baik-baik saja?"

"Aku pernah memberitahumu mengenai ketakutan dan kebencianku. Kau masih mengingatnya?" tanya Abinawa, teredam.

"Kau takut kehilanganku, juga benci bila harus kehilanganku. Kenapa kau menanyakannya? Jangan katakan kau sendiri yang melupakannya," jawab Anatari.

"Aku sedang berpikir bagaimana caranya agar aku tidak kehilanganmu."

Anatari membalikkan badan, menelisik ekpresi pelik dalam sorot mata cokelat muda. "Kenapa kau memiliki pemikiran seperti itu? Jangan membuatku salah paham dengan ucapanmu."

Air muka Abinawa tampak kusut. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dengan suara parau dia bertanya, "Anatari, andai saja aku yang bertemu denganmu lebih dulu, akankah kau menyukaiku?"

Anatari melepaskan diri dari pelukan Abinawa, memilih duduk di tepi babragan. "Abinawa, kenapa kau mengubah topik pembicaraan?"

Abinawa beranjak duduk di sebelah Anatari. "Aku tahu kau hanya menyukai kangmasku. Aku pun tidak ingin memaksakan perasaanku kepadamu. Andaikan kau memang tidak menghendaki hubungan ini, aku akan melepasmu. Dengan melepasmu lebih awal, aku berharap tidak akan merasa terlalu kehilangan."

Anatari ingin menanggapi dengan lembut, tapi dia pasti akan mati jika melakukannya. "Kenapa masalahnya jadi melankolis seperti ini? Tujuan kita kemari bukan untuk mempertanyakan perasaan kita masing-masing. Aku ingin mengeluarkan Mustika Naga dari dalam tubuhku. Kalau dia terus memakan energi intiku, maka aku akan mati. Aku tidak mau mati, Abinawa. Aku harus tetap hidup!"

Anatari bertekad untuk tetap hidup sebelum menyelesaikan misinya. Bila harus mati saat ini, maka perjalanannya melintasi ruang dan waktu hanyalah kekonyolan belaka. Jiwanya pun akan ditelan dunia ini. Sungguh kerugian yang sangat besar bagi Anatari dan dia tidak ingin mengambil resiko apapun yang mempertaruhkan keberhasilan misinya.

Tidak. Anatari tidak memiliki waktu mengurus cinta segitiga di dunia fantasi ini.

"Kau benar. Maafkan aku telah mengungkit hal yang tidak seharusnya," ucap Abinawa, tetap tenang.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang