Chapter 1. 2023

626 32 1
                                    

Pembawa sial!

Apakah aku memang si pembawa sial seperti yang mereka katakan?

Sejak mulai mengerti arti sebuah kata, aku sering mendengar Ibu mengatakan itu.

"Sejak melahirkanmu hidupku selalu menderita. Suamiku meninggal. Aku dipecat dari pekerjaan. Kehilangan putraku, karena tidak mampu membayar perawatan yang pantas dia dapatkan. Rumah pun terbakar." Wanita itu menjeda kalimatnya. Menepuk dada. Meredakan amarah yang membuatnya sulit bernapas. "Kehancuran apa lagi yang kau rencanakan untukku? Dasar pembawa sial!"

Itulah awal pengucilan diriku dalam lingkungan anggota keluarga yang tersisa. Pada hari ulang tahunku yang ke sepuluh, aku menerima hadiah yang tidak akan pernah dapat kulupakan selama sisa hidupku ... diusir dari rumah dengan halus. Ibuku bilang sudah tidak sanggup membiayai hidupku. Kemiskinan yang senantiasa mendera membuatnya menyerah untuk menanggung diriku yang dianggapnya sebagai beban terberat.

Meski wanita itu berkata secara baik-baik. Namun, dampak yang kurasakan jauh dari kata baik-baik saja. Kesedihan yang kutanggung membuatku tidak dapat menangis meraung-raung, walaupun saat itu hatiku teramat sakit. Aku tidak tahu kenapa tak dapat mengeluarkan sebulir air mata pun. Entah karena aku sudah memperkirakan hal ini atau karena hatiku sudah kebal dengan segala kata-kata penindasan yang mengiringi pertumbuhanku selama sepuluh tahun.

Jika boleh aku meminta pada Yang Maha Pencipta, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tak peduli berapa galon air mata yang harus dikeluarkan. Aku hanya ingin menangis hingga lelah. Karena sejujurnya, tak bisa menangis membuat hatiku terasa jauh menyakitkan.

Tidak lama setelah kepergianku, ibu dan adik perempuanku yang berusia tiga tahun, meninggalkan kampung ini. Menurut tetangga, ibu kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat. Aku tahu kampung halaman wanita itu dan sempat terpikirkan untuk mengikutinya diam-diam. Namun, urung kulakukan. Begitu dia melihatku, aku pasti akan disuruhnya pergi lagi. Jadi aku masih bertahan di sini sebab tak tahu lagi ke mana harus pergi.

Waktu kadang berjalan cepat, kadang juga lambat. Aku bekerja di kebun teh di salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah. Hidup menumpang di rumah tetangga yang merasa iba atas kemalanganku, tidaklah mengubah sedikitpun keberuntungan hidupku. Suami tetanggaku yang bekerja sebagai buruh serabutan seringkali mengeluh karena upah yang ku bagi pada mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Padahal aku lebih banyak menahan lapar demi keenam anak mereka yang masih kecil.

Aku tidak berani mengeluh karena diperbolehkan tinggal di sini saja sudah merupakan suatu keberuntungan bagiku. Tapi suatu hari, satu minggu sebelum hari raya idul fitri, suami tetanggaku mengajakku berbelanja kebutuhan di pasar yang ada di kota, tetapi pada kenyataannya dia meninggalkanku sendirian di depan gerbang masuk sebuah panti asuhan.

Aku terdampar di tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Memasuki tahun ketiga, bangunan panti asuhan terbakar habis akibat korsleting listrik.

Pengasuhanku berpindah tangan pada ibu dari mendiang ayahku yang tinggal di desa lain. Seorang nenek renta yang bekerja banting tulang demi menghidupi lima cucunya, yang ditinggal orang tua mereka bekerja sebagai TKI di negeri yang jauh. Sayang seribu sayang, empat bulan setelahnya nenekku meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Akhirnya, aku dapat bernapas lega setelah adik ibuku yang tinggal di kota bersedia menampungku. Dia baik dan penyayang, juga rajin bersedekah pada kucing-kucing pasar yang kelaparan. Dia seorang pedagang daging sapi dan ayam di pasar tradisional dekat rumah. Hampir setiap hari aku membantunya menjaga dagangan dan sesekali ikut melayani para pembeli. Kegiatan ini cukup aku sukai-
tidak semuanya-hanya saat menghitung belanjaan para pembeli. Ya, aku suka berhitung.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang