Chapter 8. Bhumi Javacekwara (7)

150 14 0
                                    

Anatari termegap, seakan baru terbangun dari dunia mimpi. Dia menatapi topeng putih di hadapannya. Ada rasa akrab antara dirinya dan benda itu, tapi tidak dapat mengingat seperti apa persisnya.

Hanya gambaran tidak jelas dari seseorang yang sedang menari. Gerakannya halus dan lembut penuh keanggunan. Wajahnya sepenuhnya tersembunyi di balik topeng itu.

Dyah Candrawati mendatangi Anatari. "Apa kau pernah melihat benda itu sebelumnya, Anatari?" Suara mendayu calon bibinya itu mengalun merdu di telinga Anatari, membuyarkan lamunannya.

Sepertinya begitu. Anatari meragu. "Saya tidak pernah melihatnya."

Abinawa tersenyum sinis mengetahui pemikiran Anatari.

"Apa kau yakin?" Kedua alis Jayendra bertaut, menatapnya sangsi.

Anatari baru menyadari keadaan sekitarnya yang menghujaninya dengan sorot ketidakpercayaan. Lututnya gemetar. Dadanya berdetak tak karuan. Baginya, sorot mata mereka sama seperti tatapan orang-orang yang pernah mengintimidasinya.

"Saya tidak pernah melihat topeng itu. Tidak juga mengenal para pelaku penyerangan. Bahkan saya tidak mengerti kenapa harus saya yang menjadi sasaran penyerangan," jujur Anatari.

Si kakek sungguh menjerumuskan Anatari ke dalam kisah dari negeri antah berantah, tanpa dibekali skenario atau pengenalan tokoh terlebih dahulu. Dia juga tidak dapat mengandalkan gambaran-gambaran buram dari sisa ingatan Anatari Lingga untuk dijadikan petunjuk.

Sekarang dia hanya bergantung dari informasi yang diberikan oleh kedua dayangnya, sebagai taruhan identitasnya akan mulai dipertanyakan. Mencari informasi dari Mahesa malah lebih sulit, karena Sri Maharaja II telah melarang pertemuan apapun di antara keduanya. Bertanya pada Abinawa juga tidak berjalan sesuai rencana. Benar-benar tidak ada pilihan, hanya bisa mengikuti alur yang telah dimuat cerita ini.

"Tidak tahu? Tidak mengerti? Jawabanmu sungguh dangkal." Jayendra mencibirnya terang-terangan. "Apa bibimu yang menyuruhmu untuk bersandiwara?"

"Paman," tegur Sri Maharaja II.

"Ini masalah penting yang tidak seharusnya ditutup-tutupi, Paduka. Apapun alasan Anda memilih Gusti Raden Ayu Anatari Lingga sebagai calon istri Yuwaraja, semestinya Anda ingat bahwa Javacekwara tidak boleh ternoda oleh aib yang berhubungan dengan Banaspati," tegas Jayendra.

Aib? Pembawa sial?

"Jika saya memang aib yang Anda maksudkan, lalu kenapa saya dipilih sebagai calon istri Yuwaraja? Mohon Paduka menjelaskannya, karena saya juga ingin mengetahuinya," mohon Anatari.

Sri Maharaja II menuruni takhtanya. Dahinya berkerut dalam. Dia menatap Anatari dalam ekspresi rumit. "Aku memilihmu karena ingin memberikan tempat yang paling aman bagimu. Memberikan status tertinggi sebagai Permaisuri, berharap kelak kau akan terlindungi dengan baik."

"Maafkan kebodohan hamba. Hamba belum mengerti maksud Paduka," ujar Anatari.

"Lihatlah dirimu. Pandai bersandiwara, huh," cela Jayendra.

"Saya sungguh tidak mengetahui apapun tentang masalah ini. Mohon Bhre Jayendra memberi pencerahan, jika memang mengetahui kebenarannya," Nada suara Anatari bergetar, menahan marah.

(Bhre; Gelar bagi kerabat terdekat raja yang memimpin suatu daerah/wilayah. Pangkat pada masa Hindu-Budha sebelum diganti menjadi Adipati pada masa masuknya Islam)

"Aku bukan hanya akan memberikan pencerahan padamu, tapi juga kenyataan. Dua puluh tahun yang lalu terjadi penyerangan ke Girilaya oleh tiga nagari. Semua itu berawal karena keserakahan ibumu yang menyimpan Mustika Naga. Kami membujuknya untuk menghancurkan Mustika Naga itu, tapi dia begitu keras kepala. Dengan sombong menantang tiga penguasa untuk mengalahkannya. Dengan trik liciknya, dia mengeluarkan Mustika Naga dari tubuhnya dan malah dimasukan ke dalam tubuhmu. Dia tahu kami tidak akan berani melakukan apapun pada seorang bocah kecil. Sebenarnya apa tujuan ibumu melakukan hal itu?" cecar Jayendra.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang