Keris yang telah ternoda darah jatuh di dekat kaki Anatari. Bulir-bulir air mata mengalir begitu saja saat melihat senyum ceria di wajah gadis itu telah menghilang, berganti lamunan. Anatari terjatuh tak berdaya, berusaha merangkak menggapai tubuh Lavi yang tergeletak. Tangan lemahnya menarik-narik lengan Lavi ke arahnya. Gemetar menyentuh lembut wajah si gadis yang telah diselamatkannya.
"Orang-orang memanggilku 'gadis jelek'."
"Bisakah aku memanggilmu, Lavi Kana? Bagaimana menurutmu?"
"Aku suka."
Anatari menjerit, mengeluarkan kepedihannya. Lavi yang ingin diselamatkannya dari hukuman gantung yang Anatari Lingga jatuhkan padanya. Kini, meregang nyawa di tangannya sendiri.
Si kakek yang menjerumuskan Anatari ke dunia ini kembali hadir, berjalan menuju ke arahnya. Tak ada yang bisa melihat sosoknya, kecuali Anatari. "Rezeki, jodoh, pati adalah milik Acintya. Itulah takdir. Kau tidak bisa lari darinya atau bahkan mengubahnya." Si kakek kembali menghilang bagai kepulan asap tertiup angin begitu mencapai tempat Anatari.
"Aku tidak menghendaki takdir yang seperti ini. Aku tidak ingin membunuhnya. Tidak ingin ...."
Seluruh penduduk Javacekwara menundukkan kepala, melihat kesedihan yang sengaja dipertontonkan sebagai sebuah bentuk propaganda dari era baru yang akan dipimpin oleh Mahesa Narendra.
Jiera menatap puas, sedangkan Mahesa memilih meninggalkan tempat itu.
***
Anatari dikembalikan ke dalam ruang tahanannya dalam keadaan tak sadarkan diri. Tubuhnya dibaringkan telentang di atas tumpukan jerami paling tinggi."Apa yang terjadi padanya?" tanya Abinawa, cemas.
"Dia baru saja mengeksekusi Kepala Pengawalnya," jawab seorang prajurit, tak acuh.
Taruna tertohok. "Dia sudah dieksekusi."
Sagara memegang pundak Taruna, membawanya sedikit menjauh dari jeruji kayu.
Abinawa masih berdiri, mencengkram jeruji kayu. Dia bisa saja melakukan hal itu, menghancurkannya. Tapi, yang dia takutkan adalah dampak dari tindakannya. Bisa saja dampaknya bukan hanya berimbas pada dirinya, tapi juga pada orang-orang yang ada disekelilingnya. Orang-orang terpenting dalam hidupnya; orang tuanya, Anatari, para pengawalnya yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri, mereka yang masih memercayainya, dan juga rakyatnya. Abinawa menundukkan kepala.
"Kita hancurkan saja penjara ini dan melawan mereka semua," kata Sagara.
Abinawa tersenyum. "Kau persis seperti Paman Janardana." Dia menghela napas, membenarkan posisi berdirinya. "Harus kuakui itu bukan hal yang sulit. Tapi begitu sampai di luar sana, musuh yang kita hadapi ada ribuan. Tidak peduli seberapa tangguhnya kita, tetap saja ada batasannya. Bukannya mati di tangan musuh, justru mati karena kelelahan. Bertindak sebagai seorang kesatria tidak bisa dilakukan dengan gegabah."
"Lantas apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Sagara, merasa putus asa.
Abinawa kembali berpaling pada Anatari. "Kita akan berjalan mengikuti takdir."
Hari telah menjelang petang. Abinawa duduk bersila, mengawasi Anatari.
Cahaya obor di lorong bergoyang-goyang terkena embusan angin yang berasal dari pintu kayu ganda. Ramai orang bicara, meski tak begitu jelas tentang apa. Langkah kaki terdengar mendekat disusul derit pintu kayu yang menutup rapat. Abinawa mendengarkan langkah kaki orang itu, sedang cenderung ringan.
"Suatu kehormatan mendapat kunjungan darimu," sambut Abinawa.
Taruna dan Sagara menjadi waspada.
"Besok adalah penentuan hukuman kedua pengawalmu. Kau dan ... Anatari, akan menyusul kemudian." Mahesa memberitahukan dengan enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala berniat bunuh diri, tapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak tercatat dalam buku Sejarah Kerajaan Nusantara...