Anatari berdiri di depan kediamannya, memeluk erat dirinya sendiri di tengah udara dingin menusuk kulit wajahnya yang tak terlindungi. Perhatiannya tertuju pada pintu gerbang yang tertutup rapat. Manik hitamnya mencari-cari. Hatinya berdebar penuh harap. Pikirannya melayang pada orang yang berada jauh darinya. Kakinya terus bergerak ke sisi kanan dan kiri, menjelajahi serambi depan kediamannya.
Tawa cekikian dihantarkan angin. "Dia menunggu pria itu."
"Kau menang. Besok aku akan memberimu darah ayam," ucap anak laki-laki
Anatari mengamati sekelilingnya. Mencari asal suara yang terkesan mengambang di udara dan mudah hilang terbawa embusan angin.
"Gusti Putri sedang mencari kami?" Suara cekikikan kembali terdengar.
Anatari merasa ngeri juga berani pada saat bersamaan. Bisa jadi keberanian yang didapatnya berasal dari rasa takutnya.
"Kami di atas, Gusti."
Anatari menjauh dari serambi, melangkah ke halaman depan yang diselimuti kabut tipis hanya untuk menyaksikan kejahilan dua bocah sepuluh tahunan yang sedang bermain engklek di atap kediamannya. Kedua bocah setengah transparan itu melayang ke arahnya, serupa asap yang terbawa embusan angin.
Anatari mengulurkan tangannya ke udara. "Berhenti!" Dua arwah itu melayang-layang di udara terbuka. "Jangan mendekatiku dengan wajah buruk kalian. Aku membencinya."
Kedua arwah itu mengangguk, wajah keduanya kini terlihat lebih dapat diterima, meski masih tampak pucat dan datar dengan sorot mata kosong dari manik hitam pekat tanpa cahaya kehidupan.
"Kami bertaruh apakah Gusti Putri akan kembali kemari atau tidak. Aku menang taruhan darinya. Darah dari tiga ekor ayam cemani." Arwah anak perempuan itu berujar tanpa membuka mulutnya.
"Aku tidak peduli. Katakan padaku bagaimana kalian bisa tahu aku sedang menunggu pria itu?" tukas Anatari.
"Kulihat dia pergi menunggang kuda, keluar dari gerbang utama Girilaya pagi tadi. Sepertinya memiliki urusan yang mendesak. Dia pasti belum kembali."
"Apa ada seseorang yang menemaninya?"
"Dia pergi berdua ...," anak perempuan itu kembali cekikikan, "bersama kudanya."
Anatari yang sedang tidak ingin bercanda, mendelik kasar pada arwah perempuan itu.
"Cepat pergi! Dia kembali gila." Arwah anak laki-laki berseru panik, melayang menjauh, terjun ke taman Mawar.
Pintu gapura kediaman Anatari berderit terbuka. Lavi menghambur, memeluk Anatari. "Hamba mengkhawatirkan Anda. Saat Sagara membawa pulang mayat Ekawira, hamba terus berdoa pada Acintya untuk keselamatan Anda."
Anatari melepaskan diri. "Kau bisa lega sekarang. Aku baik-baik saja. Lihatlah."
Lavi sumringah mendapati junjungannya dalam keadaan baik. Anatari mengenyahkan senyum dari wajahnya, berganti kecemasan yang tak dapat ditutupi.
"Apa yang membawamu kemari, Lavi? Seingatku, aku menyuruhmu ikut berjaga di Kertarta?"
"Hamba kemari atas perintah Yuwaraja. Sagara mendapat pesan dari Yuwaraja yang meminta hamba menjaga Anda," jelas Lavi.
Dahi Anatari berkerut, menurunkan tatapannya, lalu kembali pada Lavi. "Apa di dalam pesan itu dia mengatakan hal lainnya?"
"Seingat hamba, Sagara tidak mengungkit ada hal yang lainnya. Memangnya apa yang terjadi pada Yuwaraja?" Lavi mengucap kalimat kedua dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala berniat bunuh diri, tapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak tercatat dalam buku Sejarah Kerajaan Nusantara...