Chapter 25. Bhumi Girilaya (3)

112 16 0
                                    

Mahesa berlatih ilmu kanuragan di tepi samudera. Setiap gerakannya membelah angin, memecah air. Tekad kuat terpancar dari garis-garis wajahnya yang tegas, menyimpan kemarahan.

Seorang perempuan muda berjalan keluar dari balik pepohonan di tepi hutan. Tubuhnya berlenggak-lenggok setiap kali dia melangkah. Lentur dan gemulai. Bibir di balik cadar sutra tipis yang menyembunyikan separuh wajahnya, melukiskan senyum indah nan licik.

"Kau berlatih terlalu keras, Mahesa." Suara perempuan itu ringan. "Fajar sudah tiba. Berhentilah menyiksa fisikmu yang berharga," perempuan itu mengelilingi Mahesa yang keras kepala, "kecuali kau ingin naik takhta tanpa nyawa."

Tinju Mahesa berhenti di depan wajah perempuan bercadar. Bukannya takut, perempuan itu menggenggam tangan Mahesa, menarik pria itu ke arahnya. "Kami menunggu perintahmu, Sri Baginda."

***

Anatari berdiri di depan kediamannya, memeluk erat dirinya sendiri di tengah dingin menusuk kulit wajah. Perhatiannya tertuju pada pintu gerbang yang tertutup rapat. Manik hitamnya mencari-cari. Hatinya berdebar penuh harap. Pikirannya melayang pada orang yang berada jauh darinya. Kakinya terus bergerak ke sisi kanan dan kiri, menjelajahi barisan papan kayu serambi.

Beberapa prajurit kedaton datang silih berganti, melaporkan bahwa Abinawa tidak ditemukan di manapun. Anatari tidak habis pikir kenapa Abinawa pergi begitu saja. Sikapnya beberapa hari lalu juga tidak terduga. Apakah tujuannya untuk hari ini? Abinawa pernah mengatakan sedang memikirkan cara agar tidak kehilanganku? Memangnya apa yang akan terjadi pada diriku? Sebenarnaya apa yang sedang terjadi dan tidak aku ketahui? Dia merasa kesal sebab Abinawa bertindak tanpa memberitahunya. Tidak. Tidak. Bukan karena itu. Dia merasa kesal sebab tidak mengetahui apa-apa.

Tawa cekikian dihantarkan angin. "Dia menunggu pria itu."

"Kau menang. Besok aku akan memberimu darah ayam," ucap anak laki-laki

Anatari mengamati sekelilingnya. Mencari asal suara yang terkesan mengambang di udara dan mudah hilang terbawa embusan angin.

"Gusti Putri sedang mencari kami?" Suara cekikikan kembali terdengar.

Anatari merasa ngeri juga berani pada saat bersamaan. Bisa jadi keberanian yang didapatnya berasal dari rasa takutnya.

"Kami di atas, Gusti."

Anatari menjauh dari serambi, melangkah ke halaman depan yang diselimuti kabut tipis hanya untuk menyaksikan keisengan dua bocah sepuluh tahunan yang sedang bermain engklek di atap kediamannya. Kedua bocah setengah transparan itu melayang ke arahnya, serupa asap.

Anatari mengulurkan tangannya ke udara. "Berhenti!" Dua arwah itu melayang-layang di udara terbuka. "Jangan mendekatiku dengan wajah buruk kalian. Aku membencinya."

Kedua arwah itu mengangguk, wajah keduanya kini terlihat lebih dapat diterima, meski masih tampak pucat dan datar dengan sorot mata kosong dari manik hitam pekat tanpa cahaya kehidupan.

"Kami bertaruh apakah Gusti Putri akan kembali kemari atau tidak. Aku menang taruhan darinya. Darah dari tiga ekor ayam cemani." Arwah anak perempuan itu berujar tanpa membuka mulutnya.

"Aku tidak peduli. Katakan padaku bagaimana kalian bisa tahu aku sedang menunggu pria itu?" tukas Anatari.

"Kulihat dia pergi menunggang kuda, keluar dari gerbang utama Girilaya pagi tadi. Sepertinya memiliki urusan yang mendesak."

"Apa ada seseorang yang menemaninya?"

"Dia pergi berdua ...," anak perempuan itu kembali cekikikan, "bersama kudanya."

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang