Chapter 11. Bhumi Javacekwara (10)

120 12 0
                                    

Anatari membeku. Ngeri.

Janardana kembali berdeham. Manik kelabunya melirik tangan Abinawa yang tak kunjung melepaskan Anatari. Janardana adalah adik Sri Maharaja, tapi rambutnya telah banyak berubah warna melampaui sang kakak, alih-alih warna putih uban yang muncul justru warna keperakan. Kontras dengan kulit cokelat eksotis yang membungkus musculus-nya dengan apik.

Wajah Anatari memanas disertai rona merah di pipi, kala tatapan Janardana menghujani dirinya dan Abinawa yang berdiri dalam posisi begitu dekat. Sialnya, Abinawa malah tidak berniat membuat jarak antara mereka berdua.

"Aku menemukannya tertidur di antara beberapa kendi tuak di dalam gudang kayu. Aku akan membawanya untuk didisiplinkan. Bagaimanapun ini masih menjadi tanggung jawabku. Kuharap Yuwaraja tidak keberatan." Janardana melirik Anatari, ada rasa kesal yang tersirat karena merasa dibohongi oleh perempuan muda yang ceroboh. Seandainya Janardana tidak menemukan prajurit mabuk itu, niscaya dia tidak akan punya muka untuk menatap Abinawa.

Abinawa mengangguk. "Silakan."

Dalam jarak sedekat ini, mendengar suara Abinawa yang dalam, membuat bulu halus di seluruh tubuh Anatari berdiri. Bukan takut atau kedinginan. Lebih pada sesuatu yang mengaduk-aduk perutnya dan itu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Bawa dia." Janardana melangkah pergi, dari kejauhan dia berseru, "Kalian mau terus beku seperti itu sampai jadi arca?!"

Anatari menarik kasar tangannya. Sebelum berhasil menjauh dari Abinawa, Sagara menotok bagian punggung perempuan itu. Tubuh Anatari langsung lemas tak sadarkan diri. Abinawa mengeratkan tangan kanannya di pinggang Anatari, menahannya agar tetap berdiri, bersandar padanya.

"Maaf, Yuwaraja. Saya terpaksa melakukannya," ungkap Sagara.

"Sudahlah," tanggap Abinawa. "Ada petunjuk mengenai siapa yang menyerangmu?"

"Belum. Saya sempat mengira kalau orang itu adalah Partha. Tapi, saat merasakan tenaga dalamnya jauh lebih baik dari ...," ada sedikit rasa kecewa dan malu dalam diri Sagara akan hal itu, "saya meragukannya." Bila musuh memiliki kekuatan yang jauh lebih mumpuni daripada dirinya, bagaimana dia dapat melindungi Abinawa ke depannya? Kejadian ini menohok dirinya. Jemarinya mengepal di samping tubuhnya.

"Uhm, Mahesa tidak akan berani melangkah terlalu jauh. Itu bukan perangainya. Selain itu, ilmu kanuragan Partha tidak lebih baik darimu. Tidak perlu cemas," hibur Abinawa.

Ucapan Abinawa berhasil membuat seulas senyum muncul di bibir Sagara, meski terkesan kaku. "Tapi ... bisa saja dia memanfaatkan pihak ketiga."

Abinawa menepuk pundak Sagara. "Tidak perlu terlampau curiga padanya. Selama ini dia sudah banyak menderita. Biarkan dia hidup dengan tenang." Abinawa mengangkat tubuh Anatari ke depan dadanya. "Aku harus mengantarnya ke keputren."

"Yuwaraja."

"Mm?"

"Meski identitas orang itu belum kita ketahui, setidaknya sudah berhasil memancing kemunculan lawan. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?" tanya Sagara masih bersemangat.

"Tidur. Itu yang harus kau lakukan," sahut Abinawa.

"Eh?"

***

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang