Chapter 17. Bhumi Javacekwara (16)

120 12 0
                                    

Sri Maharaja berdiri dari tempat duduknya diikuti Abinawa dan Anatari serta Indukanti yang berada satu meja dengannya.

"Hari ini adalah hari paling penting bagiku, bukan hanya karena pernikahan putraku, Yuwaraja Abinawa Wiradharma dengan Gusti Raden Ayu Anatari Lingga. Tetapi, juga, atas bersatunya dua nagari. Javacekwara dan Girilaya. Aku patut bersyukur atas kemurahan hati Yang Mulia Ratu Falguni dari Girilaya yang telah menyetujui perjanjian kerjasama dengan Javacekwara. Oleh karena telah selesainya upacara pernikahan dan pemberian gelar baru kepada Gusti Raden Ayu Anatari Lingga, maka mulai malam ini gelar Gusti Kangjeng Ratu resmi disematkan di depan nama menantuku, Gusti Kangjeng Ratu Anatari Lingga." Sri Maharaja II mengumumkan penuh kebanggaan.

Falguni berdiri, membawa serta cangkir keramik dalam genggamannya. "Mari kita lupakan cerita lalu, membuka halaman baru, dan, mengisinya dengan cerita-cerita penuh kedamaian. Falguni mengangkat cangkirnya ke arah Abinawa dan Anatari. "Semoga Yuwaraja Abinawa Wiradharma dan Gusti Kangjeng Ratu Anatari Lingga dianugerahi kemuliaan dan kebahagiaan."

Sri Maharaja II melakukan hal yang sama, diikuti para tetamu yang serempak berdiri seraya berujar, "Semoga Yuwaraja Abinawa Wiradharma dan Gusti Kangjeng Ratu Anatari Lingga dianugerahi kemuliaan dan kebahagiaan." Bersama, meminum tuak dari cangkir keramik dalam genggaman.

Tujuh orang penari memasuki Pendopo Ageng diiringi tetabuhan gamelan menempati formasi di tengah ruangan. Hadirin undangan duduk bersila di pinggiran, dibalik meja kayu panjang yang dipenuhi aneka rupa hidangan dan minuman. Vas-vas keramik yang berada di beberapa titik tertentu di dalam pendopo yang berbentuk memanjang, menampung banyak kuntum sedap malam. Tirai-tirai putih diikat untaian melati. Tak lupa di halaman luar digelar permadani-permadani indah dan tebal sebagai alas duduk bagi mereka yang tidak kebagian tempat di bawah naungan atap Pendopo Ageng. Meski begitu, tidak mengurangi sedikitpun suka cita yang mereka rasakan.

Tarian. Alunan laras slendro. Wangi sedap malam yang terjalin mesra dengan melati, tak pernah gagal menghadirkan kedamaian dan ketenangan yang menghipnotis jiwa dan pikiran. Membuat suasana menjadi khidmat berselimuti aura mistis seketika. Anatari memanfaatkan kesempatan untuk menyelinap pergi diam-diam saat Abinawa sedang berbincang dengan Janardana dan Rangga yang duduk di dekatnya.

Baik di kuthanegara maupun di desa-desa yang tersebar dipisahkan hutan, sungai, dan perbukitan, nuansa kebahagiaan tetaplah terasa. Para pria menenggelamkan kesadaran mereka dalam nikmatnya tuak beras dan aren. Para wanita yang memiliki kemampuan menari, menunjukkan keahlian gerak lembut anggota tubuhnya diiringi tetabuhan gamelan.

Kebahagiaan yang tak terkira membelokkan waktu demi waktu tanpa terasa. Pertunjukkan Wayang Beber menghibur tepat di pergantian malam. Sang dalang membawakan kisah perjalanan kehidupan manusia dari mulai bayi merah hingga siap dijemput ajal. Sedih, susah, senang, diceritakan dengan apik, membawa emosi kuat kepada penonton. Gelak tawa sesekali terdengar kala sang dalang menunjukkan sisi humornya.

Abinawa mulai merasa pening sebab menghabiskan beberapa kendil tuak yang seharusnya dipantangnya. Ini kali pertama dia merasakan minuman itu. Pahit. Abinawa mengernyit. Abinawa mengangkat tangannya ketika Rangga menungkan tuak ke dalam cangkir miliknya untuk ke sekian kalinya. Meski sudah menolak, Janardana dan Rangga tetap memenuhi cangkir Abinawa begitu isi di dalamnya telah habis tak bersisa. Kini, dia memperhatikan dua makhluk di hadapannya di mana Janardana dan Rangga sedang beradu argumen mengenai pengalaman malam pengantin. Abinawa baru menyadari ketiadaan Anatari di sisinya.

"Keponakanku, dulu, bibimu sangat pemalu. Sebagai seorang pria, kita harus mengambil inisiatif atau hal itu tidak akan pernah terjadi," saran Janardana.

"Aku mengerti. Aku mengerti." Abinawa ingin menyembunyikan wajahnya, merasa malu sendiri.

Rangga merangkul bahu Abinawa. "Memangnya apa yang kau mengerti. Paman Janardana tidak menjelaskannya secara terperinci. Kemari, sepupuku, biar kujelaskan--"

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang