Kelopak mata Anatari terbuka setelah hari melewati senja. Api penerangan berkedip-kedip di sekitarnya. Dari ruangan di sebelahnya yang dipisahkan gebyok Kayu Jati dengan ukiran bunga yang mendetail, terlihat bayangan seseorang duduk menyamping dari celah ukirannya. Anatari memutuskan menghampiri.
Tangan kekar pria itu bergerak mengangkat cangkir tehnya. Mata elangnya memancarkan kecemasan. Hidungnya besar dan lebar, tetapi tidak cukup menarik perhatian. Namun, itu adalah sentuhan sempurna di wajahnya. Dada bidang, otot abdomen yang terpeta jelas masih dapat mengintip dari balik selendang sutra tipis yang dibiarkan menjuntai di belakangnya. Kulit cokelat hasil terpapar matahari membungkus ketat otot-otot tubuhnya.
Dia adalah lambang maskulinitas dan kegagahan dari masa lampau.
"Mahesa." Suara Anatari melirih. Bukan karena menahan perih, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang goyah. Hatinya.
Mahesa mendongak, memerlihatkan garis wajah yang hanya dapat digambarkan dengan tiga kata, ketampanan pria pribumi. Tangannya terulur, menaruh kembali cangkir teh yang tidak jadi diminumnya. "Dinda," dengan cekatan dia membantu Anatari duduk di sebelahnya, "hati-hati." Kemudian menuangkan teh hangat untuk Anatari yang masih terpaku menatapnya. Pria itu memperlakukan Anatari dengan lembut, menyiratkan ketulusan hatinya yang teramat mencintai perempuan di hadapannya. Di tangannya, Anatari serupa benda rapuh yang akan hancur dalam sekali jatuh. Dan, dia jelas tidak menginginkan Anatari hancur. "Minumlah."
Anatari Kemala merasa sungkan dan tak terbiasa diperlakuan sangat istimewa oleh seseorang. Terlebih jenis pria yang selama ini hanya dapat dilihatnya-namun tak dapat disentuh-dalam drama. Tapi, kini, dia memiliki satu di hadapannya yang pastinya tidak akan menolak sentuhan jenis apapun yang mungkin saja akan Anatari berikan padanya. Sepertinya bukan seseorang, masih ada satu orang lagi yang berada di dalam kediamannya di sisi barat lingkungan kedaton.
Pipi Anatari merona. Dia mengalihkan perhatiannya pada pintu utama kediamannya. Tidak ada yang menarik di sana, dia hanya ingin memusnahkan pikirannya sebelum menjurus tak terarah. Bagaimanapun dia perempuan normal dan itu wajar.
Mahesa menatap lekat-lekat wajah Anatari yang bak bulan purnama yang tertimpa cahaya api. Anatari membuka mulutnya, meneguk sedikit teh yang Mahesa suguhkan.
"Bagaimana keadaan Dinda saat ini?"
"Sudah lebih baik."
"Adakah yang sakit? Tubuh Dinda membentur tembok kedaton teramat keras. Apakah yakin tidak ada yang terasa sakit?"
Sekalipun ada yang terasa sakit, apa yang bisa kau lakukan? Aku tidak bisa mengandalkan bantuan orang-orang di dunia ini. Masing-masing dari mereka seperti memiliki maksudnya sendiri. Terlebih sekarang Mustika Naga ada dalam diriku. Meski belum jelas seperti apa bentuk benda itu. Namun, pasti sangat berharga, karena Sri Maharaja sendiri sampai memutuskan untuk melindungiku dengan menjadikanku sebagai bagian dari anggota keluarga kerajaan. Tapi, apakah ini tidak berlebihan? Apakah Sri Maharaja juga tidak memiliki maksud tersembunyi dari tindakannya? Apakah niatnya benar-benar tulus?
Bagi Anatari Kemala, kehati-hatian adalah pertahanan utama untuk bertahan hidup di tempat asing. Tak ingin lagi tejebak dalam wajah-wajah munafik seperti orang-orang yang telah menindasnya selama ini. Di depan orang lain mereka selalu bertindak baik padanya, padahal dibaliknya justru menggoreskan cakar-cakar tajam pada kulit punggungnya.
"Aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu yang serius."
Mahesa menghela napas lega. "Baguslah. Sebenarnya apa yang saat itu hendak Dinda lakukan di halaman belakang kedaton?"
Anatari tergagap, tidak terpikirkan satu alasan pun dalam benaknya.
"Dinda mencoba melarikan diri?" tebak Mahesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala berniat bunuh diri, tapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak tercatat dalam buku Sejarah Kerajaan Nusantara...