Chapter 16. Bhumi Javacekwara (15)

135 12 0
                                    

Ayam jantan belum berkokok. Sumbu obor belum habis dilahap api. Langit pun masih sehitam arang, tetapi kesibukan sudah menggeliat di seluruh penjuru kuthanagara. Bunyi sapu lidi mengais dedaunan dari permukaan tanah terdengar sejak dini hari.

Ramai kalawija berseloroh, menghias kedaton menggunakan janur kuning beragam bentuk dilengkapi bunga-bunga segar yang keharumannya menyerbuki udara kuthanagara. Aneka jenis sayuran, daging kerbau, ikan, buah-buahan diantar masuk menggunakan dingkul bambu dalam kondisi yang masih segar.

Asap membumbung dan mengepul-ngepul dari celah genteng dapur. Menyebarkan aroma kayu disertai wangi masakan yang sedang diolah di atas tungku batu. Sajian masakan dari yang paling sederhana hingga rumit sedang dipersiapkan. 

Di bagian muka kedaton, pintu gapura dibuka lebar, mempersilakan para prajurit melangkah keluar dengan tertib. Kedua tangan mereka membopong potongan daging hewan dalam ukuran besar yang dibungkus daun pisang. Mereka berpencar, menuju arah berbeda tanpa tertukar jalan. Mengetuk setiap pintu rumah penduduk Bhumi Javacekwara tanpa satu pun terlewatkan. Dari keluarga raja, kaum ningrat, hingga rakyat jelata diperlakukan sama; diberikan daging kerbau sebagai rasa syukur atas pernikahan yuwaraja.

Pakaian paling bagus dikenakan, bersanding dengan aksesoris emas yang menghiasi beberapa bagian tubuh. Para pria menggelung rapi rambut panjangnya. Para wanita yang telah menikah menyanggul rapi mahkota mereka dan menghiasinya dengan sekuntum bunga phalaenopsis amabilis putih. Perempuan lajang biasanya mengurai rambut dengan sedikit simpul sederhana pada salah satu sisi kepalanya. Sepucuk bunga anggrek tak lupa diselipkan di sela telinga.

Para wanita yang berasal dari kaum ningrat pada zaman ini, senang sekali menghiasi rambut mereka dengan bunga anggrek putih yang dianggap sebagai lambang cinta, keindahan, pun kemewahan. Saat para wanita dari berbagai tingkat sosial mengikuti acara keagamaan, mereka akan menghiasi rambutnya dengan bunga kamboja putih.

Penduduk ikut bersuka ria, bermunajat untuk kebahagiaan penerus takhta Bhumi Javacekwara di pura. Para pria berkumpul, mengeluarkan tuak yang mereka simpan. Para wanita saling membantu mengolah makanan. Anak-anak bermain bersama di lapangan tanah, memainkan aneka permainan tradisional.

Seluruh Bhumi Javacekwara diselimuti kebahagiaan, terkecuali Abinawa yang duduk diam menatap pakaian pernikahannya yang masih terlipat rapi di atas meja. Pikirannya tak menentu. Hati pun gelisah. Namun, roman wajahnya bak cerminan permukaan air danau yang tak beriak.

"Yuwaraja. Sebaiknya Anda mengatakannya pada Sri Maharaja sebelum terlambat," saran Sagara.

"Mengatakannya atau tidak, Anatari dan Mahesa tetap akan berakhir dalam bara api." Abinawa berujar pelan.

"Mereka pantas mendapatkannya."

Abinawa mengerling, seakan berkata bahwa ucapan Sagara tidaklah pantas.

"Maafkan hamba."

"Lalu ... bagaimana sekarang? Waktu upacara pernikahan tidak lama lagi. Mencari keberadaan Gusti Raden Ayu Anatari dan membawanya kemari juga bukan pilihan tepat." Taruna ikut merasakan ketegangan, lebih tepatnya hanya dirinya dan Sagara yang merasa cemas tak karuan. "Andai saja yang Yuwaraja nikahi adalah putri mahkota Bhumi Namaini, maka pernikahan ini tidak perlu menjadi drama."

Sagara memberi isyarat untuk diam. Taruna menutup mulutnya dengan satu tangan.

"Maafkan hamba, Yuwaraja. Hamba tidak bisa mengendalikan mulut ini," sesal Taruna seraya berlutut meminta ampun.

"Berdirilah. Apa yang kau katakan memang benar. Pasalnya ... putri dari Bhumi Namaini laksana ombak samudera yang sulit diterka, sedangkan putri dari Girilaya bagaikan Gunung Mrapen. Sekalipun jedhot masih akan memberikan tanda peringatan. Ingin mencari keuntungan pun, tetap harus penuh perhitungan," jelas Abinawa.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang