Chapter 3. Bhumi Javacekwara (2)

274 36 1
                                    

Jiyem dan Liyem memimpin jalan menuju kediaman Abinawa. Anatari tidak boleh membuang waktu berada di tempat ini terlalu lama. Menyelidiki seluk beluk tempat ini dan semua permasalahan yang menjerat Antari Lingga, menyelesaikannya, lalu pulang. Cukup dengan mengurangi dosa dan memperbanyak kebajikan. Sesederhana itu.

Anatari masih berusaha mengingat tentang siapa dirinya saat ini, identitas orang-orang terdekatnya, dan di tempat seperti apa dia berpijak, pun posisinya. Namun, semuanya masih berupa mozaik yang pecahannya terserak sembarang. Oleh karena itu, dia harus mengorek informasi sekecil apapun yang bisa didapat dari orang-orang yang telah disebutkan kedua pelayannya. Sebenarnya dia bisa saja meminta Jiyem dan Liyem untuk menceritakan semua hal yang tidak diketahuinya. Namun, hal itu justru akan membuat keduanya mempertanyakan identitas Anatari.

Anatari berpikir, Satu-satunya cara untuk bertahan di negeri antah berantah ini adalah tetap waspada dan coba membaur. Sikap waspada adalah kelebihanku yang sudah terasah berkat bantuan orang-orang yang merundungku. Kalau mengingat siapa diriku saat ini, ingin sekali rasanya unjuk gigi di hadapan mereka yang telah menyakitiku, menundukkan mereka dengan kekuasaanku.

Aku menghentikan langkah. Anatari mereasakan ada yang salah dengan pikirannya. Aku tidak pernah memikirkan sesuatu yang culas seperti itu. Ada apa denganku?

Jiyem beringsut ke belakang Liyem, menyenggol lengan rekannya. Liyem yang ragu-ragu, membuat langkah dengn hati-hati. Liyem memberanikan diri bertanya, "Ndoro Putri, apa ada sesuatu?"

"Bisakah aku menanyakan sesuatu?"

Kedua bertukar tatap ragu, menyahut cemas, "Ndoro Putri mohon tidak sungkan."

"Selama beberapa lama tinggal di sini--" Kepalaku kembali tertekan, sakit bukan kepalang. Tak tahu sebabnya, aku hanya berucap lembut. Aku terdiam, memikirkan kejadian sebelumnya di mana kedua pelayanku meminta untuk dihukum. "Selama tinggal di sini, aku tidak tahu bagaimana pandangan orang-orang terhadapku." Berhasil. Aku mengubah nada bicaraku sedikit ketus dan tidak ada sakit yang menyerang kepalaku.

"Aku ingin tahu, apa aku memiliki kesan yang baik atau sebaliknya. Aku selalu bertanya-tanya akan hal itu. Sekiranya aku memiliki kesan yang baik, aku akan sangat senang. Tapi seumpama kebalikannnya ... entahlah, mungkin aku akan memperbaiki sikap jika mau. Jadi, katakan padaku, menurut kalian pribadi, aku perempuan seperti apa?" selidikku.

Liyem yang tampak cemas, bertanya, "Kenapa Ndoro Putri tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Aku sudah menjelaskannya barusan. Sekarang, bisakah kalian menjawabnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana kalian melihatku selama ini."

Jiyem meremas tangan gelisah, melirik kiri dan kanan. "Jika kami berkata jujur, Ndoro Putri tidak akan menghukum kami, 'kan?"

"Buah jujur adalah penghargaan. Buah dusta adalah hukuman."

Jiyem maju selangkah. "Kalau begitu izinkan hamba menjawabnya."

"Jiyem!" larang Liyem.

"Ndoro Putri adalah perempuan jahat yang tidak tahu etika kaum ningrat! Bicara semaunya! Menyuruh semaunya! Sangat menyusahkan! Tidak mau dikritik dan selalu menghukum para waracethi dan pengawal hanya karena kesalahan kecil. Setiap saat menghina Yuwaraja yang kami hormati! Sepanjang hari memuji Pangeran Mahesa, bahkan diam-diam menyusup ke kediamannya! Anda benar-benar bucin! Bucin! Bucin!" Jiyem menarik napas panjang dan menghembusnya dengan perlahan. Kedua lututnya terjatuh ke tanah. "Hamba mohon ampun karena sudah mengatakan yang sebenarnya."

Anatari terperangah, berdirinya goyah. Begitu banyak serangan kata kebencian. Bucin? Apa aku salah dengar? Apa maksudnya? Aku sendiri belum pernah mengalaminya! Ya ampun, apa aku seorang penjahat? Mengurangi segala dosa. Apa-apaan ini?!

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang