Chapter 15. Bhumi Javacekwara (14)

105 10 0
                                    

Kehadiran Anatari di dalam ruang tahanan menarik perhatian si penari. Dia beringsut hendak berlutut, tetapi dia urungkan begitu manik coklat terangnya menangkap keberadaan Abinawa. Perempuan itu diam-diam mencebik tidak suka.

Abinawa menangkap sikap ganjil si penari. Namun, menahan diri, menanti reaksi Anatari.

"Apa kau si penari yang menyerangku dengan ilmu gendam?" tanya Anatari.

"Apa begitu caramu menanyai penjahat? Kalau aku jadi dia, aku tidak akan memberi jawaban yang kau inginkan," sindir Abinawa.

Penari itu menunduk, mundur dalam gerakan pelan yang tidak disadari Anatari, tapi tertangkap oleh mata jeli Abinawa.

"Katakan padanya kau sudah mengetahui tindak kejahatannya dan semua perewa bertopeng telah dihabisi tanpa ampun. Kini saatnya dia mengakui segala perbuatannya. Buah kejujuran adalah penghargaan. Buah dusta adalah hukuman," saran Abinawa.

Kenapa dia mencuri kalimatku? Kalimat itu hanya aku dan Anzel yang tahu.

Abinawa mendecak mendapati Anatari justru termangu menatap dirinya. Kedua tangannya ditempatkan di kedua sisi kepala Anatari, memutarnya pada si penari yang berdiri mengawasi. "Katakan padanya."

"Aku tidak perlu mengulangi ucapan pria di belakangku, karena aku yakin kau juga sudah mendengarnya dengan cukup jelas. Katakanlah apapun yang kau ketahui. Aku akan sangat menghargianya," tutur Anatari.

"Kemampuanmu mencari informasi sungguh payah," ledek Abinawa.

Anatari berpaling pada Abinawa. "Aku akan melakukannya dengan caraku ... nanti. Sekarang biarkan aku melakukan pendekatan."

"Jangan terlalu memakan waktu, karena kita harus bersiap untuk upacara pernikahan esok pagi," Abinawa mengingatkan dengan lembut juga menekan.

Sorot mata was-was milik si penari mengarah pada Abinawa yang berdiri di belakang Anatari. Tatapan Abinawa terasa mengintimidasi, menciutkan nyali si penari. Anatari merasa ada yang janggal, lantas berbalik kembali ke belakang. Abinawa tersenyum, memberikan tatapan puppies eyes yang menggemaskan. Pipi Anatari merona. Malu.

Anatari mengalihkan pandangan pada si penari yang mengernyit. "Aku yakin pasti ada yang ingin kau katakan padaku. Begitupun aku. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu. Informasi yang kita tukar pasti akan saling menguntungkan. Pertimbangkanlah."

"Saling menguntungkan? Dia memberimu informasi, sedangkan kau hanya menanyakan beberapa hal padanya. Aku tidak melihat di mana letak kentungannya. Sekalipun dia lebih bodoh darimu, kau tidak boleh berbuat licik. Berikan keuntungan baginya juga," sindir Abinawa.

"Baik. Baik. Aku salah," aku Anatari. "Sebaiknya kau saja yang bicara dengannya."

"Dia tidak pantas berbicara denganku," tekan Abinawa, tenang.

Si penari menunduk.

Dia teringat saat Abinawa memergoki dirinya sedang mengawasi Sang Yuwaraja menghabisi para perewa bertopeng putih. Bukannya membunuh si penari, Abinawa justru berkata bahwa si penari bukanlah tandingannya sehingga menyuruhnya pergi menyerahkan diri kepada Pasukan Keamanan Kedaton. Bahkan Sagara pun dilarang menghadang lari si penari dan menyuruhnya kembali ke dalam hutan.

"Aku," Si penari melirik Anatari, "hanya ingin bicara denganmu."

Abinawa keluar ruang tahanan seraya berkata, "Baiklah aku akan meninggalkan kalian berdua. Mengobrol-lah seperti teman lama dan jika butuh teh ... katakan saja."

Anatari menggeleng mendengar ucapan Abinawa, menatap pria itu menjauh dari ruang penjara, kemudian berpaling pada si penari yang telah lenyap dari tempatnya berdiri.

(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang