Roda kereta kuda berderit melindas tanah merah licin. Jalanan tak rata menciptakan lubang-lubang penuh air dalam beragam bentuk di sepanjang badan jalan basah. Dua ekor kuda jantan yang menarik kereta, meringkik panik karena sulit menarik muatan besarnya tatkala rodanya terjebak di dalam kubangan lumpur dipenuhi air keruh yang cukup dalam.
Anatari yang tadinya duduk tenang seketika terguling karena kurangnya pertahanan. Abinawa membantunya duduk di sebelahnya.
"Ada yang terluka?"
Anatari menggeleng seraya menjawab, "Tidak ada. Apa yang terjadi di luar?"
"Apapun itu, sepertinya akan sedikit memakan waktu." Abinawa berkata dengan tenangnya.
Sagara dan empat orang prajurit turun dari atas kuda tunggangan mereka, membantu Pak Kusir menenangkan dua kuda. Setelah beberapa lama bergulat mengenyahkan kepanikan dua hewan mamalia, akhirnya roda kayu yang terjebak pun melolos.
Anatari yang tidak waspada--selalu--terhentak ke depan. Abinawa mengulurkan tangannya di depan perut Anatari. Anatari pun refleks memegang tangan Abinawa. Keduanya bertemu tatap begitu dekat.
Anatari menelan kegugupannya, mau tak mau kembali memikirkan kemiripan fisik Abinawa dan Anzel. Mulutnya melontarkan kata-kata tanpa dia duga. "Abinawa, pernahkah kita bertemu sebelumnya?"
Abinawa memilih bertanya, alih-alih menanggapi pertanyaan Anatari. "Kau tidak mengingatnya?"
Alis Anatari terangkat. "Kita pernah bertemu sebelumnya?"
Abinawa memalingkan wajahnya. Petang itu, adalah hari kedatangan Anatari ke Bhumi Javacekwara setelah ditetapkan sebagai calon permaisuri yuwaraja. Delegasi Bhumi Javacekwara yang dipimpin Mahamantri Adyaksa, menyambut delegasi dari Bhumi Girilaya yang dipimpin Mahamantri Karunasankara di depan gapura utama kuthanagara.
Mahamantri Adyaksa mempersilakan Abinawa memeriksa kereta kuda yang membawa Anatari. Abinawa mendekati kereta kuda, menatap pintu samping kereta yang tertutup rapat. Dia lantas tersenyum kecil, mendapati sebentuk energi menyegel kedua pegangan pintu kereta. Manik cokelatnya mengamati jendela yang ditutup tirai kasa tipis. Dia menangkap keberadaan sosok seorang perempuan yang duduk tegak dalam kegelapan di dalam kabin kereta kuda.
Abinawa memahami bahwa ini jebakan untuknya, tapi dia tidak peduli. Tangannya terulur mendekati pegangan pintu kereta. Dia menyentil sebuah bola cahaya dan energi yang menyegel pegangan pintu itupun lenyap. Pintu kereta pun terbuka tanpa masalah. Sagara mendekati Abinawa, menyerahkan celupak bergagang agar Abinawa bisa melihat dengan jelas sosok siapa yang duduk di dalam kabin kereta kuda.
Dua pasang mata bertemu tatap. Satu menatap penuh kelembutan, yang lain menatap dingin dan tajam. Itulah pertemuan kedua Abinawa dan Anatari Lingga. Abinawa tersenyum, melihat wajah dingin sang rembulan yang tampak arogan.
Abinawa mengulurkan tangannya pada Anatari. Namun, Anatari menyambutnya dengan memperlihatkan keris Geni Brata yang dia sembunyikan dibalik selendang sutra transparan berwarna merah di pangkuannya.
Abinawa menarik tangannya, mengenyahkan senyum ramahnya.
"Pertemuan pertama kita adalah saat aku menyambut kedatanganmu di gapura utama kuthanagara. Sebelumnya ... tidak pernah ada," Jawab Abinawa sedikit tidak jujur.
Anatari melepaskan tangan Abinawa, ada kekecewaan yang dirasakan begitu dia mengetahui bahwa Abinawa bukanlah Anzel. Anatari tersenyum, menghibur diri sendiri. Mengatakan dalam hati bahwa dia terlalu banyak berimajinasi.
Abinawa menganjurkan kepalanya keluar jendela. "Apa masalahnya sudah teratasi?" Dia tidak perlu bertanya lebih mengenai masalah yang terjadi sebab dari guncangan kereta saja sudah dapat dipastikan kalau roda kayunya terjebak di kubangan dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala yang hidupnya penuh kesialan, berniat bunuh diri. Akan tetapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak termuat d...