Roda kereta kuda berderit melindas tanah merah licin. Jalanan tak rata menciptakan lubang-lubang penuh air dalam beragam bentuk di sepanjang badan jalan basah. Dua ekor kuda jantan yang menarik kereta, meringkik panik karena sulit menarik muatan besarnya tatkala rodanya terjebak di dalam kubangan lumpur bercampur air keruh yang cukup dalam.
Anatari yang tadinya duduk tenang seketika terguling karena kurangnya pertahanan. Abinawa membantunya duduk di sebelahnya.
"Ada yang terluka?"
Anatari menggeleng seraya menjawab, "Tidak ada. Apa yang terjadi di luar?"
"Apapun itu, sepertinya akan sedikit memakan waktu."
Sagara dan empat orang prajurit turun dari atas kuda tunggangan mereka, membantu Pak Kusir menenangkan dua kuda yang panik. Setelah beberapa lama bergulat mengenyahkan kepanikan dari dua hewan mamalia, akhirnya roda kayu yang terjebak pun berhasil meloloskan diri.
Abinawa memiringkan kepalanya keluar jendela. "Apa masalahnya sudah teratasi?" Abinawa tidak perlu bertanya lebih mengenai masalah yang terjadi sebab dari guncangan kereta saja sudah dapat dipastikan bahwa roda kayunya terjebak di dalam kubangan dalam.
"Sudah, Gusti," sahut Sagara.
"Beri kedua kuda itu minum terlebih dahulu. Jangan biarkan kerongkongan mereka kering setelah banyak meringkik. Setelahnya, baru lanjutkan perjalanan," saran Abinawa.
"Sendiko, Gusti."
Pak Kusir menepikan kereta kuda, kemudian dia mencari sumber mata air ditemani Tambir.
Anatari mengulurkan tangan hendak membuka pintu. Namun, ucapan Abinawa membuatnya membeku.
"Di saat harus berhenti jauh dari pemukiman, berada di dalam kereta adalah hal yang paling bijak."
"Termasuk jika kereta itu tergelincir dan masuk ke dalam jurang?" canda Anatari.
"Pemikiranmu yang tidak bijak."
Anatari menjauh dari pintu seraya berseru, "Oh, baiklah. Aku tidak tahu daerah ini. Tidak ada alasan untuk mengabaikan nasihat dari Tuanku Yang Bijak." Anatari menyandarkan kepalanya pada dinding kereta kayu diliputi ekspresi muram. "Apa aku harus berdiam seperti ini? Padahal di luar sana tersaji pemandangan nan indah. Sayang jika tidak dinikmati, walau hanya sekejap mata."
"Kau bisa menikmatinya dari jendela yang terbuka." Abinawa menimpali segera.
Anatari memerhatikan jendela yang tertutup tirai di sisi kirinya. "Aku lupa." Dia membuka tirai dengan riang. Namun, wajahnya kembali muram kala melihat dinding tebing berbatu yang muncul dalam pandangan. "Oh, baiklah. Sungguh pemandangan yang spektakuler."
Abinawa membuka tirai jendela di sisinya, menyajikan lautan hijau pucuk-pucuk daun yang membentang luas tak terbatas bersimbah cahaya mentari jingga, menyatu dengan langit senja di ujung cakrawala. Burung-burung tropis masih terlihat terbang bebas di dekat puncak pohon tertinggi.
"Aku tidak keberatan bertukar tempat." Abinawa menawarkan tempatnya dengan suka rela.
Anatari menyetujui tanpa ragu. Dia bangkit dari duduknya, beringsut dengan posisi sedikit membungkuk kala hendak melewati Abinawa. Akan tetapi, kakinya terserimpet ujung selendangnya yang menjuntai bebas menyentuh lantai kereta. Refleks tangan Abinawa meraih pinggang Anatari sebelum perempuan itu jatuh tersungkur, menempatkan tubuh ringan Anatari mendarat tepat di pangkuannya.
Kereta kuda berguncang, menarik perhatian Sagara, Taruna, Wiba, dan para prajurit yang berjaga. Mereka mengambil beberapa langkah menjauh dan lebih waspada mengamati lingkungan sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 1) Gadis Yang Terlempar Ke Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy"Apakah kesialanku di kehidupan ini ditentukan amal masa lalu?" 🍃🍃🍃 Anatari Kemala berniat bunuh diri, tapi seorang pria renta mengirimnya ke Bhumi Javacekwara. Sebuah tempat di Tanah Jawi yang tidak tercatat dalam buku Sejarah Kerajaan Nusantara...