34. Give Peace A Chance

57.6K 4.1K 497
                                    

Kesalahan terbesar Lilly adalah membiarkan Theodore masuk ke dalam apartemennya.

Wanita bersurai brunette yang mati-matian mendeklarasikan kebenciannya pada seorang Theodore Alford nyatanya malah membiarkan pria itu datang mengunjungi, membuat kontradiksi hebat di antara akal sehatnya yang telah berkhianat.

Setelah bergulat hebat dengan hati dan pikirannya akan semual hal yang selama ini menghantui, Lilly mendadak memiliki keberanian untuk menghadapi Theodore dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh pria itu malam ini. Tak dapat dipungkiri, Lilly juga tidak ingin terus berlari, bertingkah hipokrit dengan menolak kehadiran seorang pria bajingan yang sialannya masih menduduki hati.

Lilly lelah. Dia ingin menghadapi realita.

Denting jam terus brgerak meninggalkan garis waktu saat Lilly bungkam di ambang pintu, pun dengan Theodore yang sejak tadi berdiri tanpa sempat menyapa lebih dulu.

"Silakan masuk." Kalimat pertama yang diucapkan Lilly akhirnya terlontar keluar. Theodore mengangguk dan lantas berjalan masuk, mendaratkan bokongnya di atas sofa empuk ruang tamu.

"Ingin minum sesuatu?" Lagi, pertanyaan bernada canggung keluar dari dalam mulut Lilly. Theodore melirik sejenak. Ingin rasanya dia mengatakan bahwa dia tidak menginginkan apa-apa selain melihat wanita itu tersenyum padanya. Namun Theo menepis semua pemikirannya dengan sebuah  anggukan pasti.

"Teh hijau saja, jika tidak keberatan," jawab Theo tampak ragu-ragu. Tanpa banyak kata, Lilly segera melangkahkan kakinya menuju pantry, membuat dua gelas teh hijau tanpa gula.

Dari tempatnya duduk, manik abu kebiruan Theo dapat melihat dengan jelas bagaimana tubuh Lilly bergerak ke sana kemari, mencari benda-benda yang ia butuhkan dengan cekatan. Jika ditanya apa yang sebenarnya ingin dia lakukan, maka jawabannya adalah, Theo ingin bernegosiasi dengan Lilly, sekali lagi. Ucapan Alana beberapa saat yang lalu, rupanya berhasil mempengaruhi pikiran Theo untuk kembali melakukan rekonsiliasi bagi hubungannya yang sudah hancur.

Fragmen masa lalu yang tiap detik datang menghantui, seakan memberi Theo tanda jika dia harus berjuang keras untuk yang terakhir kali.  Mencoba meredusir segala sesuatu yang rumit, Theodore ingin mengenyampingkan rasa penyesalannya malam ini.

Dia ingin menegaskan kepada Lilly jika kini dia telah berubah. Dia bukan lagi seorang Theodore Alford yang tidak bisa memahami keinginan hatinya. Dia ingin Lilly mengetahui, seberapa besar cintanya pada wanita itu. Dia ingin Lilly mengetahui bahwa penyesalan telah membawanya pada titik nadir yang menghancurkan hati.

Sial! Theo menginginkan sebuah lembaran baru yang lebih baik. Lembaran baru yang berisi kisah mereka—kisahnya dan Lilly. Dan bukan bersama orang lain.

"Silakan." Suara Lilly membuyarkan Theo dari lamunan singkatnya akan niat utama datang ke tempat ini. Lilly yang baru saja kembali setelah membuat teh pun juga ikut mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Kini ia tengah berusaha menatap Theo dengan tanpa kilat kebencian.

"Terima kasih," ujar Theo yang kemudian mengamit mug putih yang tersaji di atas meja. Begitu teh hijau mendarat di indera perasanya, mata Theodore seketika menampilkan keterkejutan yang tersirat. Gelenyar hangat pun masuk ke kerongkongan Theodore, mengantarkan kehangatan di antara tubuhnya. Namun, bukan perkara itu yang membuat Theodore membatu. Rasa hambar dari teh yang dibuat oleh Lilly mengingatkan Theo akan sesuatu.

Dari bibir gelas yang tengah dipegangnya, Theo menatap Lilly lurus. Pria itu tersenyum samar sebelum meletakan kembali mug putihnya ke atas meja dan mengatakan....

"Sudah bertahun-tahun, dan kamu masih mengingat seleraku akan minuman ini?" Kalimat retoris yang dilayangkan Theodore seketika membuat tubuh Lilly menegang. Dia tertangkap basah! Ingatannya terlempar akan ucapan pria itu beberapa saat yang lalu.

The Escapes of MistressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang