24. LOST

74.8K 5.4K 658
                                    

"Feeling no longer have a reason to live because of a mistake you've made ,"

-LOST

_____________________________

Mencapai batasan dari semua hal yang terjadi, merupakan hal pasti yang akan dialami oleh manusia, cepat atau lambat.

Tidak peduli seberapa berat masalahnya, manusia pasti memiliki titik terendah yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.

Tangis, tawa, duka lara dan suka cita.

Semuanya terkadang menjadi satu kesatuan yang bahkan tidak dimengerti oleh nurani. Terdengar berlebihan, tetapi jika kamu belum mengalaminya sendiri, kamu tidak akan mengerti.

Mencari jawaban pada angin yang berhembus pun rasanya tak berguna saat berada di titik itu.

Hampa, gelap, sunyi, tidak berdaya dan sendirian.

Sejatinya manusia akan selalu merasakan persaan itu tatkala semesta memisahkannya dari seseorang yang begitu berarti.

Dan sama seperti mendung yang akan jatuh tatkala merasa lelah, Theodore Alford yang selama ini terlihat jahat dengan semua perilakunya pun, akhirnya terjatuh ke dalam sebuah lubang tak berpenghujung bernama depresi.

Dia yang dulu selalu berpenampilan rapih dengan segala wibawanya, kini tak lebih dari seorang pria dewasa yang memiliki gejala gangguan jiwa.

Dia yang dulu akan bebas pergi ke manapun, kini hanya bisa terduduk menatap langit biru dari balik jendela rumah sakit jiwa.

Apa Alford menjadi gila?

Jawabannya tidak.

Dia tidak gila, tetapi hampir menjadi gila jika tidak segera ditangani. Emosinya yang tidak terkontrol dan perilakunya yang dapat membahayakan diri sendiri serta orang lain, membuat Theodore memilih untuk tinggal di rumah sakit jiwa sementara waktu, melepaskan semua tanggung jawabnya terhadap perusahaan demi menyembuhkan jiwanya yang hampir hilang.

Kepergian Lilly benar-benar membawa dampak yang sangat besar bari pria itu. Madelyn, Alice, Eric, dan bahkan Bianca pun tidak menyangka jika Lilly akan se-berpengaruh itu untuk seorang Theodore Alford.

Ini sudah hampir dua bulan sejak kejadian di mana Theo hampir melenyapkan nyawanya sendiri. Dan selama itu lupa, Theo rutin melakukan terapi kejiwaan dan mengonsumsi obat yang dianjurkan.

"Alford?" Panggilan itu menyadarkan Theo dari lamunan panjangnya. Ia lantas menoleh, menatap ke arah sang ibu yang baru saja datang berkunjung. Melihat keadaan puteranya sudah jauh lebih baik dari satu bulan yang lalu, Madelyn hanya bisa tersenyum sendu. Ia mendekati Theo dan memeluknya dengan sangat erat.

"My beloved son..." bisik Madelyn dengan mata yang berkaca. Theodore yang menjadi lebih peka terhadap perasaan setelah semua yang ia alami pun, sekarang tahu jika Madelyn sedang berusaha menahan air matanya. Perlahan, tangan Theodore terangkat untuk mengusap punggung rapuh Madelyn.

"Don't cry mommy. I'm okay...." bisik Theo, yang mana bisikan itu semakin membuat Madelyn merasa sedih. Sebagai seorang ibu, Madelyn tidak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Ia menangis melihat keadaan Theodore yang seperti ini.

Walau ia tau jika puteranya bersalah, tetapi ibu tetaplah ibu.

Malaikat tak bersayap yang dikirimkan Tuhan kepada setiap nyawa yang lahir ke dunia.

Seburuk apapun Theodore, dia tetaplah puteranya.

Dia, tetaplah seorang bayi laki-laki yang dulu berlindung di dalam dekapannya.

The Escapes of MistressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang