Bagian 2

369 54 56
                                    

Hanya suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring memeriahkan suasana makan malam pertama di rumah baru kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hanya suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring memeriahkan suasana makan malam pertama di rumah baru kami. Rumah minimalis berlantai dua yang didominasi cat cokelat ini untungnya enggak memiliki masalah pencahayaan. Sehingga kami bisa menikmati makanan dengan tenang, walaupun ruang tengah masih sedikit berantakan.

"Pa, di sekolahku nanti ada klub renangnya, kan?" Windy memecah hening di antara kami. Biasanya adikku ini jarang memulai obrolan di ruang makan. Ia akan lebih senang mengobrol berdua dengan Mama atau Kak Delima.

"Ada. Anak teman Papa kebetulan sekolah di sana."

Mama beralih mengelus rambut Windy dengan penuh kasih sayang. "Kamu harus lebih rajin lagi, Win."

Kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama dan membawa-bawa hobi, Papa pasti enggak ingin membahasnya. Jadi, aku hanya menulikan telinga ketika mereka membicarakan tentang sekolah Windy.

"Lily, besok kamu ke sekolah sama Mama, ya. Biar sekalian Mama bayar baju olahraga buat kamu."

"Aku beneran masuk SMA Cendekia Muda?"

Bukan hanya Mama yang menatap heran ke arahku, tetapi Papa, Kak Delima, dan Windy. Memangnya pertanyaanku salah? Aku sempat searching di internet tentang SMA Cendekia Muda. Lokasinya sangat strategis dengan dua SMA lain yang selalu dikabarkan terlibat aksi tawuran. Dahulu lebih parah, tetapi tetap saja aku merasa waswas. Andaikata SMA Cendekia Muda juga terlibat hal-hal mengerikan seperti itu, bukankah Mama dan Papa telah memasukkan anaknya ke sarang bahaya?

Jarak dari rumah memang enggak terlalu jauh, tetapi dua atau tiga tahun silam sering marak berita anak-anak SMA ditahan oleh polisi karena kasus tawuran antar sekolah. Bahkan ada yang sampai meninggal karena kasus tersebut. Jadi, aku masih agak sedikit ngeri dengan daerah ini.

"Lo mau sekolah di mana? Udah bagus dapet sekolah yang dekat, jadi tinggal naik angkutan kota, tuh, udah nyampe." Kak Delima berujar nyinyir. "Lo terlalu banyak protes tau nggak? Pindah nggak mau, sekarang sekolah pun mau milih-milih?"

"Santai, dong!"

"Lily," ucap Mama menengahi. "Jangan begitu sama Kakakmu."

"Sudah, jangan dibahas lagi. Setelah makan bantu Mama dan Papa beres-beres lagi." Tangan Papa terjulur meraih selembar tisu untuk mengelap mulutnya.

Aku harus menuruti kemauan mereka ... lagi. Mau membantah pun bukan hal yang tepat untuk kulakukan.

Kulihat Windy mencuri pandang sejenak sebelum kembali memasang tampang datarnya. Kulit pucat ditambah kantung mata makin membuat dia tampak enggak tersentuh olehku.

-oOo-

Sesuai kesepakatan yang diutarakan Mama di meja makan semalam, pagi ini aku berangkat dengan Mama menuju SMA Cendekia Muda. Enggak ada perasaan mendebarkan ketika kami sudah mendekati gedung sekolah. Tembok pembatas setinggi dua meter melindungi sekolah. Tampak tidak terawat di beberapa titik karena lumut-lumut panjang yang melekat di permukaan tembok.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang