Bagian 28

126 29 65
                                    

Aku agak sedikit memikirkan perkataan Prima tadi siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku agak sedikit memikirkan perkataan Prima tadi siang. Apa mungkin ia memikirkan perkataan anak-anak yang merendahkan Klub Sastra tempo hari? Sehingga memilih bergabung lagi dengan Klub Sastra. Namun, jelas-jelas waktu itu Prima kelihatan sangat enggak peduli.

Alasan itulah yang masih aku pikirkan. Mungkin saja ada alasan lain, tetapi aku enggak enak kalau harus menanyakannya. Ya, wong kami enggak akrab banget, loh.

Aku menyingkirkan pikiran tentang Prima. Untuk sementara aku membuangnya jauh-jauh. Beralih mengecek LINE dari Fadil dan Tomo yang menanyakan tentang materi untuk mading. Sejujurnya setelah pulang sekolah, aku belum sempat memikirkan itu. Ada, sih. Hanya saja aku perlu referensi lagi.

Namun, mumpung masih ada waktu, aku harus mendekati Windy dan Kak Delima lagi. Sebentar lagi akhir pekan dan aku ingin sekali menyisakan waktu untuk Windy dan Kak Delima. Aku enggak masalah jika sekarang kami masih canggung setelah sikapku—yang mungkin menurut mereka—sangat aneh sejak beberapa hari terakhir.

Itulah bentuk usaha mendekati mereka kembali. Jangan sampai kami menjadi kian enggak acuh. Kami bersaudara dan kelak—seperti kata Mama—ketika kami sudah beranjak dewasa, saudara-lah yang akan pertama menolong ketika kesusahan. Orang pertama yang akan kita hubungi.

Jadi, aku sudah bertekad untuk memulihkan kembali hubungan kami yang merenggang. Kalau perlu apa pun akan kulakukan demi hubungan kami.

"Lily, makan dulu, Sayang."

Suara Mama terdengar dari balik daun pintu yang tertutup rapat. Buru-buru aku menyudahi lamunan dan menyusul sesuai dengan titah Mama.

Meja makan sudah diisi berbagai macam lauk, hasil buatan Mama. Selain menyukai bunga, Mama juga sangat pandai memasak. Aku selalu berharap kelak bisa mewarisi bakat memasak yang dimiliki Mama. Setiap ulang tahun, kami hampir enggak pernah memesan kue. Selalu hasil buatan tangan Mama.

Rasa dan tampilannya pun enggak perlu diragukan. Selama itu adalah masakan Mama, aku yakin rasanya enak. Seperti malam itu, masakan Mama sederhana, tetapi mampu membangkitkan selera. Cah kangkung, perkedel kentang, serta tahu dan tempe yang digoreng biasa dengan tambahan penyedap rasa. Itu saja sudah cukup.

Keluarga kami bisa terbilang berada, tetapi sejak kecil Papa dan Mama enggak pernah mendidik kami dengan makanan-makanan super 'wah'.

Aku bergabung di samping Kak Delima dan syukurlah, ekspresinya sudah enggak sekaku kemarin ketika aku mengatakan kangen padanya. Iya bahkan tersenyum singkat ke arahku.

"Lily, bagaimana di sekolah?" tanya Papa membuatku urung menyendok makanan. "Akhir-akhir ini, kata Mama kamu sering pulang terlambat, ya?"

Rupanya Mama mengawasi gerak-gerikku selama beberapa hari. "Ya, Pa. Seringnya ada guru yang korupsi jam." Terkutuklah aku yang mulai berani membuat banyak kebohongan.

"Ingat janjimu ke Papa dan Mama, Li. Belajar yang rajin," Mama menambahkan.

Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan mereka. Selera makanku langsung raib hanya karena mereka membahas hal tersebut di meja makan. Namun, untuk menghargai Mama—dan memang enggak bisa menolak masakannya—aku pun mulai melanjutkan aktivitas.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang