Bagian 31

136 27 2
                                    

Mama berkacak pinggang, mondar-mandir di depan teras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mama berkacak pinggang, mondar-mandir di depan teras. Saat aku mendorong gerbang hingga menimbulkan suara gesekan keras, barulah Mama menghentikan langkah kakinya. Aku sudah waswas, ini pasti Mama akan memarahiku karena sering pulang terlambat.

Untung saja Dista dengan baik hati menawarkan tumpangan karena dijemput. Kalau enggak, aku bisa pulang lebih sore saat Papa mungkin sudah di rumah.

"Dari mana aja kamu? Kenapa baru balik sekarang? Memangnya kamu ngapain aja di sekolah baru balik jam segini?"

Benar, kan? Mama langsung membombardir dengan rentetan pertanyaan. Aku berusaha menghadapi Mama dengan tenang. Sebisa mungkin enggak mendebatnya. Bahkan aku sampai menyalami tangan Mama yang terasa kasar karena sering berurusan dengan dapur dan kerjaannya di toko bunga.

"Maaf, Ma. Tadi ada rapat dulu di kelas buat acara ulang tahun sekolah. Jadi, ketua kelas mengusulkan agar kelas ...."

Wah, pintar sekali gue berbohong! Suatu pencapaian yang enggak pantas dibanggakan, Li.

"Jangan membohongi, Mama! Kamu ikut Klub Sastra, kan? Makanya kamu selalu pulang terlambat? Lily, kamu nggak dengar peringatan Papa dan Mama waktu itu? Mau kena marah Papamu lagi?"

Nada Mama yang cukup cemas membuatku yakin jika beliau sebenarnya takut kepada Papa. Beliau enggak ingin kami—anak-anaknya kena marah atau mungkin sampai dibanding-bandingkan.

Pasti berat menjadi Mama. Di satu sisi, ingin mempertahankan kebaktiannya kepada Papa. Namun, di sisi lain juga enggak tega melihat anak-anaknya diomeli.

"Nggak, Ma. Aku nggak ikut."

Bagus, Lily! Bohong saja terus. Suara-suara brengsek itu terus membisikkan telingaku. Muak. Aku muak terus berbohong. Namun, mendadak keberanian itu raib jika berhadapan dengan Papa dan Mama.

Waktu itu lepas kendali sampai mendebat mereka. Saking keras kepalanya, aku mungkin sudah membuat Papa dan Mama lelah. Dahulu saat mereka tahu aku memiliki komunitas kecil di luar sekolah, Papa bahkan enggak memberikan izin keluar rumah setelah pulang sekolah selama satu minggu.

Gila, kan? Gila banget.

"Sudahlah, Mama capek ngasih tahu kamu terus." Mama memijat keningnya sesaat. "Nggak bisa, ya, kamu mendengarkan keinginan Papamu, Lily? Kalau kamu merasa nggak mau karena dirimu sendiri, pikirkan Mama, Nak."

"Apa kalian juga pernah memikirkan kami?" tanyaku. Begitu ringan terdorong oleh satu tarikan napas.

"Ngomong apa kamu? Justru karena kami memikirkan kalian, Lily!"

"Ya, tapi Mama dan Papa nggak pernah berusaha ingin tahu apa yang kami inginkan."

"Cukup!" Mama meninggikan intonasinya.

Sampai-sampai Windy terlihat keluar dengan wajah sedikit panik. Mematung di kusen sambil menatapku. Apa arti tatapannya? Apa dia tengah merasa iba?

"Masuk dan jangan pulang terlambat lagi! Untung Mama yang tau, kalau Papa bagaimana? Kamu nggak mau kan dilarang-larang terus? Untuk itu, ikuti keinginan Papa."

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang