Bagian 22

140 29 61
                                    

"Sebelumnya gue mau minta maaf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sebelumnya gue mau minta maaf." Aku duduk di tepi ranjang Kak Delima. Mati-matian menahan aroma rokok yang masih ada, bahkan setelah Kak Delima membuka jendela. "Gue hampir aja ngomong ke Papa dan udah mendebat lo hari itu. Tapi, gue serius, Kak. Gue mau lo berhenti, kasihan tubuh lo."

Kak Delima langsung menyalang ke arahku. Hanya Windy yang sejak tadi duduk di meja belajar Kak Delima. Entah apa yang dia lakukan.

"Lo bisa bikin Papa dan Mama marah besar. Emang apa untungnya, sih, lo merokok? Gue paham lo pasti tahu bahayanya. Kasihan paru-paru lo."

"Lily, lo kenapa nyebelin banget, sih? Lihat, Windy! Dia aja nggak pernah protes." Kak Delima enggak ragu berdiri sambil berkacak pinggang di hadapanku. "Lo mana paham, sih, rasanya jadi gue? Sementara yang lo kerjakan adalah selalu memberontak dari Papa. Memangnya lo paham rasanya diatur-atur?"

Kemurkaan Kak Delima seakan-akan meremas hatiku. Selama ini salahkah aku yang enggak pernah berusaha mengerti perasaannya? Bukankah selama ini Kak Delima selalu memperlihatkan wajah bahagia di hadapan Papa? Jadi, enggak mungkin dia enggak ikhlas melakukan keinginan Papa, bukan?

Kami terjebak dalam senyap untuk beberapa saat. Susah payah Kak Delima meraih pengharum ruangan dan menyemprotnya berkali-kali agar aroma rokok itu hilang. Sampai membuatku terbatuk-batuk.

"Lo keluar, deh, kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi," usirnya setelah membelakangiku.

Mau enggak mau, aku menyeret langkah ke arah pintu. Entah kenapa perkataan Kak Delima membuat seluruh perbendaharaan kataku raib dalam sekejap.

Akan tetapi, aku tercenung di depan pintu sambil menggenggam kenop. Lantas berbalik memandang Kak Delima dan Windy bergantian.

"Gimana gue mau paham, saat lo berdua nggak pernah mengajak gue bicara. Terlebih lo, Kak. Lo selalu ngajak Windy, kapan lo pernah ngajak gue? Apa benar kita saudara saat sikap kalian ke gue kayak gini?"

"Wah, bagus! Lo nyalahin kita?" komentar Kak Delima. Tawa hambarnya memenuhi ruangan itu sesaat. "Coba lo pikir lagi, Lily, siapa yang selalu bersikap enggak acuh? Lo selalu sibuk sama kegiatan lo itu. Apa lo tahu kalau lengannya Windy cedera? Nggak, kan? Itu karena lo nggak pernah mau mendengarkan kami! Selalu sibuk mendebat Papa karena hobi lo itu."

Mataku melebar sempurna karena perkataan Kak Delima. Aku melirik Windy yang masih duduk di kursi Kak Delima dengan posisi memunggungiku. Dengan tergesa aku menghampirinya.

"Apa itu benar? Apa Mama tahu?"

"Tahu atau nggak bukan urusan lo."

"Windy!" bentakku. "Lo harus ngomong ke Mama. Biar mereka bisa bawa lo ke rumah sakit. Lo juga harus istirahat biar ...."

Windy berdiri menggeser kursi ke belakang hingga terdengar decitan perlahan. Ditatapnya aku dengan murka, tetapi sorot matanya demikian terluka. Baru kali itu aku melihat Windy berkaca-kaca. Tanpa berkata apa pun, Windy keluar dari kamar Kak Delima.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang