Bagian 29

144 28 75
                                    

Kami mendapat giliran tiga hari, yaitu Senin, Rabu, dan Sabtu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami mendapat giliran tiga hari, yaitu Senin, Rabu, dan Sabtu. Meskipun itu tetap diisi dengan tema mading dari Klub Jurnalistik. Berhubung hari Sabtu mendatang adalah hari pertama kami andil menghiasi mading, aku, Tomo, Fadil, dan Rani sudah menyiapkan beberapa rencana.

Pertama, ide datang dariku untuk memulai dengan bahasan sejarah Sastra di Indonesia. Kedua, Tomo memberi ide bertajuk 'Pojok Penyair' di mana ini berisi suguhan puisi setiap hari Rabu. Lalu, yang terakhir Fadil dan Rani kompak memberi ide tantang cerpen. Setelah sekian lama memikirkan nama yang unik, kami menyepakati usul Rani, yaitu 'Pamer Cerpen' setiap hari Sabtu.

Untuk sementara tema-tema inilah yang akan kami gunakan. Setelah berjalan cukup lancar nantinya, kami akan mempertimbangkan lagi ide-ide lainnya. Tentu ide ini enggak hanya dibahas oleh kami berempat, melainkan anggota lain ikut serta memberikan pendapatnya.

"Kalau ide Lily udah oke. Tapi, biar kesannya kayak punya nama seperti Pamer Cerpen dan Pojok Penyair, gimana kalau kita buatkan nama juga?" Anastasia tumben memberikan masukan setelah berhari-hari fokus pada kegiatannya dengan Dista-meramaikan sosial media klub kami.

"Ada yang punya ide?" Fadil mengangkat tangan, memberi kode kepada anggota lain jika ada saran.

Razal yang pertama kali mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Hm, Sastra Bersuara?"

"Wah!" Rani langsung mengacungkan jempol. "Nggak perlu bahasa yang njilmet, kalau yang sederhana saja udah terdengar menarik."

Semua orang beradu pandang. Aku juga enggak menolak usul Razal. Lagi pula, di antara kami bertiga belas, hanya Razal yang mengeluarkan idenya.

"Kenapa Sastra Bersuara, karena setiap Senin, kita akan menghadirkan fakta, opini, atau tulisan-tulisan, serta pengetahuan tentang Sastra. Perlahan-lahan, memulai dari Indonesia. Kalau sudah berhasil nanti, kita bisa merambah cakupan yang lebih luas."

Bukan Razal, tetapi Giska yang sejak tadi duduk bersandar di kaki meja akhirnya mengeluarkan suara. Enggak salah, Razal langsung mengacungkan kedua jempolnya.

"Oke, kita sepakat, ya. Sastra Bersuara." Fadil memutuskan. "Gue bakal laporan ke Bu Fariza nanti. Trims, guys! Kalian semua hebat."

Seolah-olah yang berdiri di hadapanku bukanlah Fadil yang dahulu bersikap pesimis. Bukan hanya dia, bahkan Anggi yang sempat aku anggap sebagai makhluk paling jutek di klub ini, sekaligus yang paling susah untuk didekati, malah sebaliknya. Kami menjadi kian dekat sejak Klub Sastra mulai aktif lagi.

Semua orang bersemangat ketika menyangkut minat dan bakat masing-masing. Saat ini, aku adalah penikmat. Mungkin saja, satu atau beberapa bulan ke depan, aku tiba-tiba tertarik untuk menulis? Enggak ada yang tahu.

Oh, mengenai tulisan ....

"Jadi, kapan kalian akan mencoba mengirim naskah lagi?" tanyaku.

Pasang-pasang mata di ruangan itu kini menoleh kompak pada Prima dan Razal.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang