Bagian 20

145 31 71
                                    

Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku terus menggulir layar ponsel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku terus menggulir layar ponsel. Ternyata selama ini anggapan tentang Fadil, Rani, dan Anggi yang pesimis adalah kesalahan besar. Mereka hanya terpaksa karena merasa enggak memiliki kekuatan lagi untuk mempertahankan klub. Niat asli mereka terbukti dari usaha Fadil yang menyebarkan brosur di grup Line.

Ide ini bahkan sebelumnya enggak diungkapkan saat kami bertemu kemarin. Brosur Klub Sastra dalam bentuk elektronik ternyata sudah tersebar di seluruh grup angkatan. Semua ini berkat Fadil yang meminta tolong ke Tomo, Anggi membujuk Anastasia, dan tentu aku yang meminta Dista menyebarkannya.

Senyum lebar mengiringi langkah ringanku. Kuharap akan ada kejutan hari ini. Sebab, ini adalah hari pertama kami menyebarkan brosur. Sehingga saat menghadap Bu Andin nanti, aku bisa menyampaikan kabar baik.

"Gue akui semangat lo."

Aku nyaris saja melempar ponsel karena Asti yang tahu-tahu sudah berdiri di sisi kanan. Bukan hal yang enggak mungkin jika Asti enggak tahu tentang usaha Fadil.

"Sukses, ya. Gue harap banyak yang daftar," imbuhnya.

"Lo lagi memberi semangat atau lagi meremehkan?"

Asti merotasikan bola matanya sambil membenahi poni tipis yang mengganggu mata karena sudah mulai agak panjang. "Gue ikhlas tau. Ya, walaupun tadinya gue pikir usaha lo bakal sia-sia. Tapi, usaha lo memang patut diacungi jempol. Lancar, ya, Li."

"Trims. Lo nggak mau daftar juga?" Aku berusaha menggoda Asti yang langsung menggeleng dan melenggang berjalan lebih dahulu menghampiri beberapa gerombolan teman-teman sekelas kami yang tengah melintas di hadapan kelas sebelas Bahasa.

Langkah kakiku melambat tatkala menyaksikan Prima yang berjalan di koridor kelas sebelas Bahasa. Tampak kalau dia baru saja datang. Aku belum berbicara lagi dengannya sejak bersikap seperti penguntit.

Meski agak sangsi, aku berlari kecil menghampiri Prima sebelum dia memasuki kelas. Ini akan menjadi hari terakhir aku berbicara dengannya. Setelah itu, akan kupastikan kalau Klub Sastra bisa tanpa orang sepertinya.

"Lo lagi, Lilimut!" ketus Prima ketika aku berhenti di depannya, menghadirkan keterkejutan dari wajah yang setiap saat terlihat datar.

"Kenapa? Lo harusnya senang karena ketemu Lily yang imut ini." Oke, ini terdengar narsis. Pun, sejak kapan aku berbicara sok akrab di luar urusan Klub Sastra. "Gue cuma mau minta maaf, Primata."

"Primata? Jangan kurang ajar lo!"

"Duh, duh, maksud gue itu Prima-tampan. Gimana? Impas, kan, sama Lilimut."

Tampak Prima enggak mau mengindahkan basa-basi sok akrab yang aku ciptakan. Sebenarnya itu hanya asal bicara saja, sih. Kalau membicarakan ketampanan, tentu Chris Evans masih menjadi yang kedua setelah Papa.

"Sebentar, gue cuma mau minta maaf karena udah ngikutin lo," ungkapku menahan langkahnya yang hendak memasuki kelas.

"Ya, minggir!"

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang