"Sori, ya, Lila ...."
"Lily."
"Ya, Lily. Sori, gue nggak ada waktu buat ikutan klub seperti itu." Anastasia menggeser kursinya ke belakang. "Gue duluan, ya."
Begitu tubuh langsing Anastasia menjauh, aku hanya bisa menutup mata, menghela napas pasrah. Baiklah, ini percobaan pertama. Akan kudatangi gadis itu lain kali. Sebenarnya bisa saja aku menahan langkah Anastasia, tetapi karena bel akan berbunyi sebentar lagi, maka kuputuskan untuk enggak mengejarnya.
Aku kembali menghampiri Fadil dan Rani. Enggak mau memamerkan wajah lesu, aku langsung tersenyum optimis. Meskipun kini keduanya memamerkan tatapan iba. Ya, aku yakin, mereka tahu bahwa Anastasia baru saja menolak.
"Nggak apa-apa, Li. Kita coba besok," kata Rani sambil menepuk pundakku. Berusaha untuk menghibur.
Fadil tersenyum menampilkan ekspresi yang berbeda. Jauh lebih optimis dan penuh semangat. "Kita berjuang bareng, Li. Lo nggak sendiri."
"Trims. Gue jadi makin semangat. Nanti gue coba lagi ngajak Kak Prima ngomong."
"Gue suka semangat lo yang membara kayak gini, Li. Tapi, nggak usah dipaksain kalau memang Prima nggak mau. Dia mungkin udah sibuk banget kali, makanya nggak mau balik lagi." Fadil menuturkan sambil menyendok sisa bakso yang entah sejak kapan mereka pesan. "Dia juga kerja paruh waktu, kan? Jadi, mungkin buat dia nggak ada waktu untuk ikutan Klub Sastra lagi."
Rani mengangguk, mengaminkan ucapan rekannya. Sementara aku mulai merasa pesimis, khusunya dalam hal membawa Prima kembali ke Klub Sastra. Terkesan sangat memaksa cowok itu, tetapi aku sudah kepalang berjanji.
Apa kata Anggi jika tahu kalau aku gagal? Apa dia tidak akan mau lagi melanjutkan rencana kami?
"Gue usahakan Kak Prima mau gabung lagi!" Aku sedikit berseru.
"Lo kalau sama Prima manggilnya 'Kak'. Giliran sama kita bertiga malah biasa aja, tuh," sewot Fadil.
"Ya, ya, anggap aja ini gue lagi akting sok manis biar Prima masuk Klub Sastra lagi." Susah payah aku menekankan kata 'Prima' tanpa embel-embel 'Kak'.
Kalimatku justru menghadirkan gelak tawa Rani dan Fadil. Aku enggak menyangka, dalam waktu dekat ternyata berhasil akrab dengan mereka berdua. Mungkin hanya Anggi yang masih bersikap agak ketus, tetapi aku enggak masalah. Selama kami sering bertemu, aku harap akan ada hal yang lebih baik di antara kami.
"Eh, kita kayaknya perlu kumpul untuk bahas program dan pembuatan brosur," ujar Rani di sela tawa Fadil.
"Ah, iya! Kita bisa bahas minggu ini. Mau?"
Aku mengangguk setuju karena memang hari mingguku di rumah agak membosankan. Namun, masalahnya bagaimana aku harus izin ke Papa dan Mama? Tentu enggak mungkin jujur. Sebab, semalam saja, Mama terlihat sangat marah karena aku menyebut Klub Sastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily dan Klub Sastra√
Ficção Adolescente[Sudah Tamat di KaryaKarsa] Berkat kecintaannya pada dunia literasi, Lily berniat untuk bergabung dengan Klub Sastra. Sayangnya, Klub Sastra terancam bubar atas beberapa pertimbangan. Namun, karena terlanjur menjatuhkan hati, Lily bertekad untuk mem...