Bagian 17

125 30 46
                                    


Tatapan mataku enggak beralih dari pesan yang baru saja mampir di layar ruang obrolan Line

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tatapan mataku enggak beralih dari pesan yang baru saja mampir di layar ruang obrolan Line. Dista menghubungi dan berkata mendapatkan Line-ku dari Asti. Bukan, bukan itu yang membuatku merasa enggak percaya, tetapi pengakuan Dista yang akhirnya sepakat untuk mendaftar Klub Sastra.

Angin segar seolah menerpaku. Seakan-akan berbisik lembut, bahwa esok dan seterusnya akan ada hal-hal baik yang terjadi. Terlepas dari kekacauan di balik tempurung kepala, tentang Kak Delima, aku merasa amat tenang karena paling enggak sudah mendapat calon pendaftar.

Fadil juga memberi kabar baik di grup obrolan kami. Tomo sepakat untuk mendaftar, tetapi dengan catatan ingin bertemu aku. Loh, untuk apa? Enggak mau membuang kesempatan, aku pun mengiakan ajakan yang disampaikan lewat Fadil.

Hanya tinggal menunggu kabar dari Anastasia. Ini yang lebih sulit dan enggak terlihat progresnya. Terlebih Anggi enggak pernah mengungkit apa pun tentang gadis itu.

Ah, satu yang lebih sulit ... Prima.

Setelah pembicaraan kemarin siang, dia benar-benar enggak menunjukkan ketertarikan terhadap ucapanku. Meski telah mendengar sendiri bagaimana Klub Sastra dibicarakan anak-anak lain, dia tetap kukuh dengan keputusannya.

"Memangnya dia sesibuk apa, sih?" ketusku seraya melempar ponsel ke atas bantal. Melirik Windy yang sedang mengerjakan tugas. Tatapannya sengit karena merasa terganggu.

Lantas aku memilih merebahkan tubuh di atas kasur empuk dengan sprei bergambar benda-benda luar angkasa. Pikiranku berkelana jauh tentang hari minggu untuk kumpul di rumah Rani. Aku belum membicarakannya dengan Mama atau Papa.

Mendadak aku teringat Prima lagi. "Untung gue berusaha menahan sabar. Kalau nggak, udah gue semprot abis-abisan itu cowok! Lihat aja nanti, lo pasti mau dengerin gue." Aku menggumam ketika sebuah ide tiba-tiba melintas di pikiran.

Berusaha mengabaikan Prima, aku memilih keluar untuk ke kamar mandi. Membasuh wajah sebelum tidur agaknya akan membuatku sedikit lebih tenang.

Bahkan saat aku bergerak pun, Windy tampak tidak acuh. Seakan-akan aku enggak berada di sana. Kami betah berjam-jam dalam keheningan. Padahal aku sangat ingin berbicara panjang lebar dengannya. Menanyakan tentang hari-hari Windy setelah bergabung dengan Klub Renang.

Sayangnya, itu hanya sebatas anganku.

Berselang sekian detik, aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajah dengan handuk kecil. Tiba di kamar, pemandangan yang menyapa netra untuk pertama kali adalah punggung lebar Papa. Tubuh kekarnya yang tinggi tegap membuat nyaliku menciut.

Ketika beliau berbalik, aku menemukan selembar kertas lusuh di tangannya. Tatapan Papa mengisyaratkan kemarahan.

"Apa ini?"

"I-itu dari sekolah ...."

"Kamu ikut Klub Sastra? Jadi, benar kata Mamamu?"

Oh, aku bahkan enggak menyangka jika Mama akan mengadukan hal tersebut kepada Papa. Kalau sudah berhadapan dengan Papa, hal yang bisa kulakukan hanyalah membisu.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang