Bagian 1

911 76 45
                                    

Alunan musik mengentak di ruangan beraroma lavender yang menusuk lubang indra penciuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alunan musik mengentak di ruangan beraroma lavender yang menusuk lubang indra penciuman. Sepasang kakiku melangkah hati-hati, berjinjit di antara petak-petak lantai marmer putih demi menghindar dari debu yang menempel di sana. Irama lagu berbahasa Korea dari ponsel yang tergeletak di meja kayu menyesaki gendang telinga. Windy bilang lagu itu bisa membangkitkan semangat, tetapi tidak mempan untukku. Alih-alih bersemangat, aku merasa miris karena tidak tahu artinya.

"Nggak ada lagu lain, ya?" tanyaku saat Windy beranjak mengambil sapu di belakang pintu.

"Nggak ada." Adikku terlampau cuek untuk sekadar berbasa-basi. Kami memang tidak terlalu dekat, meski memiliki ikatan saudara.

Kepalaku terjulur melongok dari jendela yang terbuka. Tirai hitam pekat yang menari dibelai tarian angin sore menerpa rambutku yang hitam sebahu. Debu-debu halus masih menempel di kusen jendela membuatku enggan meletakkan tangan dengan sempurna. Mama dan Papa berlalu-lalang di halaman depan sambil mengangkut kardus-kardus berukuran sedang. Sementara Kak Delima mengentakkan kaki ketika mengangkat kardus. Pertanda ia malas melakukan hal tersebut.

"Rumahnya lumayan. Sedikit adem dari rumah lama," ungkap Windy yang entah sejak kapan berdiri di sisi kananku.

"Aku suka rumah lama. Jakarta tetap aja panas."

"Oh, gitu."

Pembicaraanku dan Windy memang enggak pernah panjang lebar. Aku sangat ingin membicarakan banyak hal dengannya, tetapi sayang sekali, justru Windy yang terkesan enggak betah tiap kali kami terlibat percakapan.

Namun, hari ini Windy tetap betah duduk di sampingku. Aku mengedarkan pandang lagi ke arah jalanan, terlihat dari jendela ruangan yang akan menjadi kamar kami. Ya, maksudku, aku dan Windy akan berbagi ruangan. Aku enggak mempermasalahkan, tetapi cewek yang memiliki hobi berenang ini justru sempat memprotes kepada Papa tiga hari sebelum pindah. Walaupun akhirnya ia harus menerima, sebab enggak ada kamar lebih di rumah ini.

Jalanan di luar pun sepi, hanya sesekali tampak kendaraan melintas. Terlampau sepi.

Aku mengakui jika rumah baru berlantai dua yang akan kami huni sedikit tenang karena cukup jauh dari jangkauan tetangga. Paling enggak, aku bisa menikmati waktu sore dengan tenteram. Jarak rumah tetangga yang cukup lengang menjadi alasan mengapa rumah ini cukup sepi.

Sejujurnya aku sedikit enggak terima atas rencana pindah yang diikrarkan Papa sejak satu bulan lalu. Berkat Papa yang dimutasi oleh kantornya, kami sekeluarga harus pindah ke daerah Kebayoran Baru. Meski demikian, aku tetap bersyukur enggak tinggal di luar kota.

Windy beranjak dari tempat sambil menyenandungkan lagu berlirik bahasa korea. Syukurlah suara penyanyi itu sudah menghilang dari jangkauan telinga. Aku mengamati lamat-lamat mobil pick up yang datang bolak-balik mengangkut perabotan kami.

"Oke, Lily, kamu memang membenci ini, tapi Papa nggak mungkin bisa dibantah. Toh, sudah sampai di sini dan kamu nggak mungkin bisa balik ke rumah lama."

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang