Bagian 39

232 27 0
                                    

Ketika melangkahkan kaki memasuki rumah, suara Papa yang berteriak murka menyambut gendang telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ketika melangkahkan kaki memasuki rumah, suara Papa yang berteriak murka menyambut gendang telinga. Aku bahkan belum sempat melepas ikat tali sepatu dengan benar karena memilih melepasnya dengan asal.

Tiba di ruang tengah, aku menemukan Papa yang berusaha ditenangkan oleh Mama, Kak Delima yang enggak ragu menatap Papa dengan berani. Hanya Windy yang enggak terlihat. Dia pasti sedang beristirahat. Mereka berdebat di lantai dua, tepat di depan kamar Kak Delima.

"Apa saja yang kamu lakukan di luar sana? Siapa yang memukulmu seperti ini?!" bentak Papa.

Kini aku tahu arah pembicaraan itu. Pasti luka lebam di area bawah dagu dan lengan Kak Delima. Sebenarnya aku juga cukup penasaran. Apa yang menimpa Kak Delima selama ini?

Aku memang enggak mengerti bagaimana perasaan Kak Delima dahulu saat menuruti apa yang Papa katakan, tetapi bagaimana mungkin Kak Delima memilih pergaulan yang seperti itu? Merokok dan sekarang ... entah apa yang membuatnya mendapati luka seperti itu.

"Delima, jawab Papa!" Suara Papa kembali mengudara keras.

"Sudahlah, Pa. Yang penting aku baik-baik saja. Kenapa saat aku terluka begini, Papa bertindak seolah sangat peduli? Saat aku merasa lelah harus belajar demi keinginan Papa, apa pernah mengkhawatirkan kesulitanku? Nggak, kan?"

Keberanian Kak Delima membuatku sedikit tersentak. Selama ini kakakku selalu diam dan menuruti apa pun yang Papa katakan. Enggak pernah sekalipun aku melihatnya mengeluh, tetapi ternyata tersimpan ledakan emosi di dalam dirinya.

Baru sekarang kemarahan itu bisa terucapkan. Bahkan Papa tampak meringis ketika Kak Delima mengeluarkan kata-kata dengan nada yang cukup keras. Mama menahan lengan Papa, enggak bisa berbuat apa-apa.

"Yang Papa pedulikan hanyalah ekspektasi Papa itu. Ingin menjadikan Windy atlet yang hebat sebagai ganti mimpi-mimpi, Papa. Ingin aku dan Lily belajar manajemen biar bisa seperti Papa kelak." Kak Delima dengan berani menatap Papa tanpa henti. "Apa Papa pernah tahu apa yang kami inginkan? Nggak! Papa nggak tahu apa-apa!"

"Delima!" Mama menjerit membuat Kak Delima tersentak. Apalagi aku yang baru kali melihat Mama demikian murka.

"Sudahlah," kata Papa pada akhirnya. Suaranya terdengar demikian lelah. Ia memijat pelipis sejenak sebelum kembali menatap Kak Delima. "Urus dirimu sendiri kalau begitu. Jika nggak mau mendapat aturan dari Papa, silakan ... urus saja sendiri."

Papa tampak sangat kecewa saat menyudahi pembicaraan itu. Ia berjalan pelan menuruni anak tangga. Ketika pandangan kami bertemu, aku melihat guratan-guratan samar di wajahnya. Papa pasti lelah. Selama ini selalu bekerja keras untuk kami.

Kekecewaan begitu kentara dari rautnya. Papa hanya melengos meninggalkan kami menuju kamar. Mama bergegas turun menyusul, meninggalkan aku dan Kak Delima yang sama-sama terdiam.

Aku memutuskan untuk menghampiri Kak Delima. Tampak ia mengusap wajah frustrasi. Posisi ini benar-benar sulit. Mengapa kondisi keluarga kami makin seperti ini? Ya, Tuhan!

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang