Bagian 30

134 20 3
                                    

"Apa yang lo lakukan, sih, Lily? Kenapa lo pergi gitu aja?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang lo lakukan, sih, Lily? Kenapa lo pergi gitu aja?"

Sampai detik ini aku masih memikirkan kejadian yang menimpa Prima dan neneknya. Pengecut, aku malah bergerak mundur kala itu. Melepas helm dan pergi dari sana. Enggak menolong Prima dan tentu saja enggak tahu apa yang terjadi.

Orang-orang berseragam hitam-hitam itu menyeret tubuh renta nenek Prima. Sedangkan sang cucu berusaha memberontak ketika kedua tangannya disergap, sampai ia bersimpuh ke tanah. Lantas bagaimana aku harus menolong Prima? Sial, aku malah meninggalkan mereka kemarin.

Semalam aku benar-benar enggak bisa tidur memikirkan hal tersebut. Mengapa aku enggak berteriak saja mencari bantuan? Malah kabur meninggalkan Prima dan neneknya. Tentu rasa sesal ini enggak berguna sekarang. Apalagi semalam LINE prima benar-benar enggak aktif.

Tanpa tahu malu, aku mengirim pesan melalui LINE, menanyakan kabar cowok itu. Sayangnya, sampai bel istirahat berbunyi, pesan tersebut enggak mendapat respons apa pun. Aku menatap layar ponsel sesaat, sebelum seseorang menepuk bahuku agak keras.

"Bengong aja lo. Lagi lihat chat siapa? Kak Zayn, ya? Udah sejauh mana pendekatan kalian?"

"Otak lo, ya. Isinya cinta melulu." Aku memasukkan ponsel ke saku rok span sambil menatap Asti yang menyengir lebar-lebar. "Zayn itu bukan tipe gue, tipe gue ...."

"Oke, whatever, Darling." Asti memilih menyerah karena sudah paham akan jawabanku yang penuh halusinasi. "Tumben lo nggak ke ruang Klub Sastra?"

"Nanti setelah pulang sekolah, kok."

Kening Asti berkerut heran ketika menatapku lamat-lamat. "Oh, God! Apa yang terjadi? Kenapa lo kelihatan enggak bersemangat?"

Sebaiknya enggak usah kukatakan kepada Asti tentang apa yang menimpa Prima. Bisa-bisa Asti ember ke mana-mana. Suatu saat Prima pasti akan mendengarnya, lalu bisa-bisa terjadi hal-hal buruk yang enggak ingin aku bayangkan. Mungkin saja masalah kemarin sangat sensitif bagi Prima.

Hebat! Bagus! Prima berhasil menyita fokus. Baru kali ini aku mengikuti kelas Bu Fatima dengan rasa ogah luar biasa. Bu Fatima pun sampai heran kenapa aku tampak enggak bersemangat. Dipikirnya aku sakit dan benar! Aku berbohong dengan mengatakan kurang enak badan.

"Lily? Are you okay? Malah bengong ditanyain. Jangan-jangan lo beneran sakit. Coba sini," katanya prihatin sambil meraba keningku. "Nggak anget, kok."

"Gue baik-baik aja. Hm, As ...." Aku menggigit bibir. Ragu-ragu untuk menanyakan apa yang bersemayam di pikiranku sekarang. Bisa-bisa Asti menuduh yang enggak-enggak lagi. "Lo ... lo tahu sesuatu tentang Prima?"

"Kak Prima? Ah, dia nggak jadi gabung, ya? Bukannya udah? Waktu itu Anggi sama Fadil datengin Setya, gue tahu dari mereka. Dan yeah, gue dengar Klub Sastra dan Klub Drama bakal kerjasama buat pentas."

"Bukan, Prima emang udah gabung, kok. Cuma ...." Ah, apa sebaiknya aku enggak bertanya kepada Asti. "Eh, lupain. Omong-omong, lo mau ikut tampik di pentas nggak? Gue, sih, maunya lo tampil. Itu kan naskah yang dibuat teman-teman gue. Iya, please?"

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang