[Sudah Tamat di KaryaKarsa]
Berkat kecintaannya pada dunia literasi, Lily berniat untuk bergabung dengan Klub Sastra. Sayangnya, Klub Sastra terancam bubar atas beberapa pertimbangan. Namun, karena terlanjur menjatuhkan hati, Lily bertekad untuk mem...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Iya, ini gue lagi nyari referensi lagi buat rencana kita. Udah, lo jangan khawatir. Selama kita saling dukung dan berusaha, gue yakin Klub Sastra nggak akan tinggal nama."
Kalimatku kemudian menggantung saat pintu terbuka. Terpaksa aku menutup sambungan panggilan telepon dengan Rani. Windy tiba-tiba muncul membuatku sedikit terkejut. Sejak kapan dia ada sana. Apa dia mendengar obrolanku dengan Rani?
Hanya saja wajah pucatnya yang datar tanpa ekspresi selalu membuatku enggak bisa menebak apa yang dipikirkannya.
"Sejak kapan lo di situ?" tanyaku.
Alih-alih menjawab, dia hanya datang menyambar buku catatannya di meja belajar, lalu melenggang keluar. Sebenarnya aku takut kalau Windy ternyata enggak suka kalau kami berbagi ruangan. Itu terbukti dari tindakan Windy yang lebih betah menghabiskan waktu di ruangan Kak Delima.
Dia seolah-olah bebas berada di sana. Apa menatap atau berada di ruangan yang sama denganku barang sedetik saja, ia sungguh enggak tahan?
Sampai detik ini, aku enggak tahu kenapa Windy terkesan selalu menghindar. Padahal aku berkali-kali berusaha untuk mengobrol akrab dengannya. Sayangnya, Windy selalu membalas ucapanku dengan singkat dan ketus.
"Ya udahlah, kalau nggak mau diajak ngobrol juga nggak apa-apa." Lantas aku kembali melanjutkan aktivitas.
Berangkat dari keputusan Fadil, Rani, dan Anggi yang sepakat untuk ikut rencanaku dan menerima tantangan dari pihak sekolah, semangat dalam diriku pun membara. Seperti sekarang, baru kali ini aku mengabaikan film Chris Evans yang belum sempat kuselesaikan.
Lebih tertarik mencatat apa saja yang perlu aku lakukan dan apa saja yang harus didiskusikan besok bersama tiga anggota lama Klub Sastra. Ah, rasanya aku enggak sabar buat menunggu hari esok. Mengingat anggota, aku langsung kembali menghadirkan dalam ingatanku percakapan dengan Dista beberapa waktu lalu. Besok aku harus menagih cewek itu.
"Ah, urusan Prima yang susah banget. Apa gue bilang aja ke Rani kalau sebenarnya ... gue nggak sanggup?" Aku termenung saat pindah dari kasur ke meja belajar. Menopang dagu sambil menikmati pemandangan kota dari kaca jendela.
Dari kejauhan terlihat gedung-gedung tinggi pencakar langit seolah mengecil. Lampu-lampu di jalanan berkedip sesaat, lalu berpendar terang. Ramai, oleh deru mesin kendaraan yang seolah enggak pernah berhenti bahkan sampai hari menjemput pagi lagi.
Aku menggeleng keras-keras. "Nggak boleh menyerah, Lily! Buktikan kalau Klub Sastra itu layak."
"Klub Sastra?"
Jantungku seakan-akan dibuat hendak terputus dan jatuh ke perut, terperangkap tulang-tulang rusuk. Tahu-tahu Mama sudah berdiri di belakangku sambil menatap curiga.
Aku meneguk saliva kuat-kuat. Lupa kalau selama ini Mama dan Papa ... ah, semua anggota keluargaku enggak tahu tentang kegiatan ekstrakurikuler yang membuatku ingin bergabung. Mana mungkin? Di saat mereka seolah bertindak enggak punya waktu untuk mendengarku.