Bagian 36

96 27 2
                                    

Papa enggak pernah main-main dengan ucapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Papa enggak pernah main-main dengan ucapannya. Sebagai anak, aku paham betul bagaimana Papa. Terbukti dari perkataannya yang enggak bisa diganggu gugat. Kak Delima benar-benar diantar ke kampus oleh Mama pagi ini. Windy juga akan dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan cederanya.

Aku berada di situasi yang terasa konyol. Papa sampai senekat ini membuat Kak Delima enggak bisa berkutik. Terlebih aku kasihan pada Mama. Beliau harus berangkat lebih terlambat ke toko bunga karena menemani Kak Delima.

Makin ke sini, aku merasa Papa terlalu berlebihan. Sementara kami juga enggak bisa berbuat apa pun. Aku sendiri enggak bisa membayangkan jika kelak Papa tahu tentang kegiatanku di sekolah—selain belajar.

Aku harus mengaku ke Papa.

Mobil tiba-tiba berhenti, merobek lamunanku. Rasa iba masih bermukim di dada ketika mengingat bagaimana keheningan di ruang makan saat sarapan tadi. Papa benar-benar menjadi dingin, sungguh.

"Lily, nanti pulangnya sendiri, nggak apa-apa, kan?" tanya Mama setelah melepas sabuk pengaman sambil menoleh ke arahku.

Serius, Mama baru bertanya saat aku sudah mulai terbiasa sendiri? Memangnya selama ini aku pulang dijemput siapa? Selain abang angkutan kota yang setia mengetem di depan sekolah.

"Ya, Ma. Nggak apa-apa." Aku hendak membuka pintu mobil, kemudian Mama menahan lenganku. "Kenapa, Ma?"

"Kamu ingat-ingat kata Papa, ya. Jangan sampai membuatnya marah lagi. Papa bisa lebih marah dari apa yang menimpa Delima dan Windy."

Aku hanya mengangguk sekenanya, malas menanggapi Mama yang terlalu diam ketika Papa menekan kamu. Seiring berjalan waktu, Mama makin terasa jauh dari jangkauanku.

Kendati demikian, aku tetap berusaha menghargai apa yang Mama lakukan sebagai bentuk rasa patuh kepada suaminya. Entah kapan aku bisa memprotes. Berharap ada setitik kebaikan hati Papa.

Mobil Mama menjauh membelah jalanan. Aku masih berdiri memandang sampai mobil itu hilang dari pandang. Pikiranku berkelana menemui kejadian-kejadian semalam. Meski bukan aku yang dimarahi habis-habisan, tetapi tetap rasanya pedih melihat Kak Delima angkat suara tentang keinginannya.

Pagi tadi, mata Kak Delima terlihat sembab. Ia bahkan sempat enggak mau sarapan bareng, hanya saja ... Mama lagi-lagi memaksa. Rasanya enggak enak karena kebisuan yang ada di sana.

"Hai, Lily?"

Aku menoleh dan menemukan Zayn menyengir. Dia selalu saja mengalungkan kameranya. Buat apa, ya? Biar terlihat keren? Di mana-mana Chris Evans tetep keren di mataku.

"Hai."

"Pelit banget jawabnya." Zayn mengekor ketika aku beranjak lebih dahulu. "Pesan LINE gue kenapa nggak pernah dibales, ya? Gue makin yakin, deh, sama status lo."

"Status apaan?"

"Denger-denger gosip, lo pacaran sama Prima, ya?"

Belum sempat bibirku terbuka, Prima sudah melintas bersama motornya menuju ke arah parkiran. Sempat ia mengerling singkat kepadaku dan Zayn, sebelum melengos cuek.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang