Bagian 8

165 33 46
                                    

"As, lo tau Fadil, nggak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"As, lo tau Fadil, nggak?"

Asti yang sudah kelar memasukkan buku-buku catatannya pun menoleh padaku. "Kak Fadil kelas IPA satu, kan? Ketua Klub Sastra?"

"Oh, dia kakak kelas. Gue kira seangkatan kita. Lo mau temenin gue ke kelasnya?"

Walaupun sebenarnya aku tahu Asti pasti enggak akan mau berurusan dengan Klub Sastra. Berdasarkan apa yang aku amati dari sikapnya, sudah pasti ia adalah satu dari sekian banyak anak-anak di SMA Cendekia yang enggak suka dengan keberadaan Klub Sastra.

Padahal ekskul itu enggak membuat hal-hal buruk yang bisa merugikan orang lain. Namun, aku enggak mau berkomentar apa pun mengenai sikap Asti. Biar bagaimanpun aku enggak bisa memaksa seseorang mengikuti apa yang menjadi kesukaanku. Asti punya pendapat sendiri dan ya, aku menghargainya.

Jika mengajak Asti berdebat pun akan berimbas pada kedekatan kami. Aku masih terbilang baru di sekolah dan untuk saat ini hanya Asti yang cukup dekat denganku. Walaupun sebenarnya aku sedang berusaha mengakrabkan diri dengan teman-teman yang lain.

"As, malah bengong! Ayo, mau nggak?"

"Duh, jujur Lily, gue sebenarnya males. Cuma karena lo ngotot, ya udah."

Aku mengulas senyum lebar seraya menarik tangannya keluar dari kelas. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tujuh menit lalu dan seperti biasa, hanya anak-anak yang masih punya urusan ekstrakurikuler dan OSIS, serta beberapa guru yang masih tersisa.

Sebelas IPA 1 terletak di dekat perpustakaan. Cukup dekat dengan ruang Klub Sastra. Kelas itu sudah sepi yang artinya enggak ada Fadil di sana. Asti bahkan sempat mengajak pulang, tetapi aku tetap enggak mau menyerah. Dengan inisiatif asal, aku mengajak Asti ke ruangan Klub Sastra.

Sesaat  Asti ogah-ogahan, tetapi karena aku terus memohon, mau enggak mau ia mengikuti langkahku. Mungkin hari ini aku sedang sangat beruntung, pintu ruangan itu terbuka. Memperlihatkan Rani yang sedang bolak-balik membawa tumpukan buku.

"Gue kira udah kelar hari itu." Kehadiranku membuat Rani, Fadil, dan Anggi menoleh kompak.

"Hai, Lily. Lo mau ngapain lagi?" Rani menyapa ramah. Sedangkan Fadil mengulas senyum tipis. Hanya Anggi yang benar-benar enggak minat dengan keberadaanku.

Aku melangkah ringan memasuki ruangan yang sedikit pengap. Membantu membereskan sisa buku yang akan dimasukkan ke kardus. Sementara Asti menunggu di luar. Mungkin menurutnya lebih asyik bermain ponsel daripada memasuki ruangan yang dipenuhi aroma buku-buku lama.

"Omong-omong, gue udah bicara sama Pak Arman," cetusku memulai pembicaraan. Tentu dengan hati-hati. "Beliau bilang akan memberi kesempatan, asalkan Klub Sastra mau menerima tantangan."

Hanya Rani dan Fadil yang tampak tertarik. Terlihat dari gerakan tangan mereka yang terhenti saat memasukkan buku ke dalam kardus. Anggi masih dengan sikap cueknya. Namun, ini bukan sesuatu penghalang besar. Aku harus segera meyakinkan mereka, bahwa Klub Sastra mampu memiliki banyak prestasi.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang