Bagian 21

133 28 57
                                    

Seperti apa sebenarnya karya-karya Prima yang katanya sempat mejeng di redaksi surat kabar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti apa sebenarnya karya-karya Prima yang katanya sempat mejeng di redaksi surat kabar. Mendadak aku penasaran, tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya. Daripada Prima mengurungkan niat, aku lebih baik bersikap sok manis dulu kepadanya. 
Berkat tindakanku beberapa jam lalu, aku yakin dia masih kesal. Oh, mungkin sejak aku sering merecoki, Prima sudah menaruh dendam terhadapku. Enggak ada yang tahu, cuma aku harus bersikap baik dulu padanya.

"Gimana kalau kita ngobrol sambil makan siang?" tawar Fadil.

"Asyik, lo traktir, ya?" Rani menunjuk wajah Fadil penuh sukacita.

Meski sedikit cemberut melihat Rani yang antusias, Fadil mau enggak mau langsung mengangguk. Nah, kalau gratisan juga aku bakal berdiri paling depan. Lumayan, menghemat uang saku. Setelah uang saku yang kutabung ternyata ludes karena mengikuti Prima beberapa waktu lalu.

Kami pun sepakat untuk makan siang di warung bakso langganan Fadil. Aku enggak tahu di mana persisnya dan memang enggak mau tahu. Yang penting isi perut tetap aman.

Sebelum berangkat, aku mengirim pesan kepada Mama untuk izin terlambat pulang. Oke, aku mengakuinya. Berbohong dengan alasan ada kelas tambahan. Semoga saja Mama percaya.

"Prim, motor lo nggak usah dibawa. Entar aja balik ke sini, tempatnya dekat, kok," tutur Fadil ketika kami berjalan bergerombolan di selasar menuju halaman utama SMA Cendekia.

"Gue nggak ikut, deh."

Rani langsung menyikut lengan Prima. Tampak sekali kalau sebenarnya mereka sangat akrab. Cuma aku yang menjadi orang baru di sini, apalagi mereka adalah kakak kelasku.

"Anggap aja ini perayaan lo kembali ke klub, Prim," cetus Rani yang tiada henti memamerkan wajah gembiranya. "Ayolah, lo kan kerjanya malem."

"Kerjaan gue nggak gitu, doang, Ran."

Aku mengamati profil Prima. Setahuku dia memang bekerja di minimarket yang enggak jauh dari rumah. Apa dia punya pekerjaan lain? Kalau diingat-ingat, mungkin berkaitan dengan neneknya? Aduh, aku mendadak sok tahu.

"Ya, gue tau. Sesekali senang-senang, lah. Apalagi lo sekarang udah gabung lagi. Gue sama yang lain bakal nyari info lomba, deh, buat lo."

Prima hanya menghela napas dengan mengangguk takzim. Secepat itu dia mengiakan tawaran Rani? Giliran tawaranku malah enggak diindahkan sama-sekali. Aku mendengkus sambil menendang kerikil.

"Lo kenapa, Lily?" tanya Anggi yang berdiri di sisiku.

"Eh, nggak apa-apa. Ayo! Keburu sore, gue udah laper, nih. Mumpung nyokap ngasih izin." Aku menarik tangan Fadil selaku orang yang bersedia menguras uang jajannya siang itu.

Tempat yang dimaksud Fadil memang enggak jauh dari sekolah. Namun, aku sedikit ngeri karena lokasinya yang strategis dengan dua sekolah yang dulu sering dikabarkan terlibat tawuran. Kalau ketenangan kami tiba-tiba terusik oleh lemparan batu-bata atau alat keras lainnya, bagaimana?

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang