Bagian 6

184 41 46
                                    

Dari sekian banyak pelajaran, hanya jam Biologi dan Olahraga yang menarik perhatian sekaligus yang aku tunggu-tunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dari sekian banyak pelajaran, hanya jam Biologi dan Olahraga yang menarik perhatian sekaligus yang aku tunggu-tunggu. Jam olahraga kali ini kami sudah masuk materi basket. Sejujurnya aku enggak terlalu bisa main basket, bahkan asing dengan teknik-teknik dasarnya. Meski enggak terlalu tahu juga, tetapi kayaknya aku lebih suka sepak bola.

Sebelum turun ke lapangan, aku dan Asti melipir ke kamar mandi untuk mengganti baju. Aku keluar daru bilik toilet, menemui Asti yang sedang memperbaiki rambutnya.

"Gimana kemarin?"

"Nggak gimana-gimana."

"Apa gue bilang? Lo lebih baik gabung ekskul lain. Drama masih buka pendaftaran, lho."

Sayangnya aku enggak berminat di dunia seni peran. Asti mengabaikan wajahku yang mendadak murung karena pembicaraan kemarin dengan anggota Klub Sastra. Percuma, tidak ada setitik keinginan dari mereka untuk mengharumkan nama klub.

Keluar dari kamar mandi, aku dan Astri berjalan bersisian menuju lapangan basket. Anak-anak yang lain sudah berkumpul di sana, bersama Pak Bas-guru olahraga yang baru menikah dua bulan lalu. Dari wajahnya yang tampak awet muda, aku bahkan enggak menduga dia sudah memiliki istri.

"Woy, cepetan!" teriak Adit dari arah lapangan.

Aku dan Asti buru-buru mempercepat langkah. Sayangnya, telingaku masih mampu mendengar obrolan dua siswa yang sedang berdiri mengambil beberapa kertas pada mading yang ada, tepat di depan kelas X IPA 4.

"Kemarin gue lihat Fadil beres-beres ruangan klubnya. Kasihan banget, ya. Akhirnya sadar juga kalau Klub Sastra, tuh, emang harus dibubarkan. Maksa tahu nggak kalau harus dipertahankan," ujar cewek berjaket merah gelap.

Rekannya yang memakai cardigan ungu muda hanya tersenyum remeh. "Anggota mereka tiga orang doang. Wajar sekolah mempertimbangkan untuk bubar. Nggak ada benefit apa pun buat sekolah dengan mempertahankan klub minim prestasi."

"Gue lihat-lihat juga cuma si Prima yang tulisannya bisa dimuat oleh redaksi koran. Anak-anak yang lain, sih, cuma sekumpulan geek yang freak banget."

Tawa mereka pun mengudara di selasar yang lumayan sepi. Mendadak aku yang merasa enggak terima atas perkataan mereka. Dua cewek-yang aku perkirakan adalah anggota Klub Jurnalistik-lantas berjalan melewati kami.

Kedua tanganku mengepal tatkala memandang punggung mereka yang naik-turun saat tertawa. Asti mencekal lengan kananku saat akan hendak menghampiri kedua siswi tadi. Ia menggeleng, memberikan isyarat agar enggak terlibat masalah apa pun.

Baiklah. Lagi pula Pak Bas sudah menunggu dan aku enggak mau membuat kesan buruk di kelas pertama pelajaran olahraga.

"Ayo, jangan dipikirkan. Rana emang suka banget ngomongin ekskul lain. Seolah Klub Jurnalistik paling oke di Cendekia Muda. Padahal anak-anak Klub Olahraga, khusunya futsal, lebih keren dibanding mereka."

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang