Bagian 35

111 27 0
                                    

Setelah puas jalan-jalan mencari makan dan bahkan tadi sempat mampir di salah satu photobox, kami sepakat untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah puas jalan-jalan mencari makan dan bahkan tadi sempat mampir di salah satu photobox, kami sepakat untuk pulang. Di taksi, Windy tampak antusias memperlihatkan hasil foto. Baru kali ini aku merasa momen kebersamaan kami saat masih kecil seolah terulang kembali. Ke depannya aku berharap kami akan tetap seperti ini.

Kak Delima sesekali menoleh ke belakang sambil tersenyum mengamati kami. Sampai enggak terasa kalau taksi sudah berhenti di depan rumah.

Mobil Mama terparkir di depan. Beliau sudah pulang? Tumben. Biasanya jika Mama ada urusan di toko bunga setiap akhir pekan, pasti pulang terlambat. Paling enggak selepas Magrib. Namun, hari ini agak berbeda.

Kami bertiga memasuki rumah dengan senyum yang enggak pernah hilang dari bibir masing-masing. Terlebih Windy yang tampak sangat bahagia. Namun, pemandangan yang menyapa kami pertama kali adalah Papa dan Mama yang duduk tenang di sofa.

Tatapan Papa datar dan seakan-akan menyimpan letupan amarah. Sementara Mama tampak cemas di tempatnya. Sebuah kantong plastik hitam bertengger di atas meja. Apa jangan-jangan kami akan kena marah setelah pulang cukup sore?

"Duduk!" titah Papa dingin.

Aku, Kak Delima, dan Windy saling bertukar pandang. Mau enggak mau, duduk bertiga di hadapan Papa dan Mama. Tatapan murka Papa tertuju kepada Kak Delima. Seketika degup panik di dadaku langsung terasa. Adrenalinku terpacu ketika tatapan Papa enggak lepas dari saudara sulung kami.

Lantas aku menurunkan padangan ke arah kantong plastik hitam di atas meja. Jangan-jangan ....

Sebelum pikiranku terlalu jauh, Papa berdiri dan merampas kantong plastik. Menumpahkan isinya dengan gerakan kasar hingga berhamburan di atas meja. Enggak salah lagi, semua bungkus rokok Kak Delima.

"Pa?" gumam Kak Delima ketakutan.

Papa melempar kasar kantong plastik. Sementara Mama hanya bisa menunduk atas apa yang terjadi.

"Sejak kapan kamu merokok?" Suara Papa terdengar dingin di telingku.

Ini yang aku khawatirkan. Mengapa Kak Delima enggak pernah mendengarkan aku dari awal? Kulirik Windy yang wajahnya tampak memucat. Kebahagiaan yang sempat bersemayam di sana, perlahan hilang menjadi ketakutan.

"Jawab Papa, Delima!" bentak Papa membuat kami kompak terkejut. "Apa yang ada di pikiranmu sampai melakukan hal seperti ini? Apa lagi yang Papa nggak tahu?!"

Kemurkaan Papa melebihi kemarahan beberapa waktu lalu saat mendapati kertas di atas mejaku yang berisi catatan kegiatan Klub Sastra. Hanya aku yang berani mendongak menatapnya, sementara Windy dan Kak Delima menunduk takut.

"Pa?" Aku berusaha untuk menenangkan, tetapi Papa langsung melirik dengan penuh hardikan.

"Diam, Lily! Belum waktunya kamu berbicara."

Seperti yang aku duga. Mama enggak bisa berbuat apa-apa karena rasa patuhnya kepada sang suami.

"Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi agar fokus belajar, bukan bergaul sembarangan sampai merokok segala!" Intonasi Papa kian meninggi. "Jawab, Papa! Sejak kapan kamu merokok?"

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang