Bagian 10

158 34 52
                                    

Minggu pagi yang sedikit membosankan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Minggu pagi yang sedikit membosankan. Meskipun di layar laptop terlihat wajah tampan Chris Evans. Sedang beradu akting dengan para pemain lainnya, tetapi sejak tadi fokusku enggak tertuju ke sana. Aku berhenti di tengah film, memilih berguling ke sisi kanan dan telentang menatap plafon kamar. Pikiranku terus tertuju pada Klub Sastra dan Prima.

Sialnya, aku mengindikasikan bahwa Prima bukan orang yang gampang diajak mengobrol. Agak kesal juga karena dua hari lalu, ia bersikap abai dan membawa motornya melaju keluar dari sekolah.

"Gue pikirin besok aja." Aku bangkit dari kasur, meraih ponsel berniat mencari referensi untuk kegiatan Klub Sastra.

Ada beberapa halaman artikel yang membahas ekskul serupa. Dari sana, aku melihat-lihat program kerja klub di sekolah-sekolah lain. Ternyata lebih berkembang dan banyak sekali program yang sudah dijalankan.

Bagaimana jika Klub Sastra di sekolah tetap dilanjutkan dan membuat kegiatan-kegiatan seperti di sekolah lain? Pasti akan sangat menyenangkan. Namun, berkali-kali pun aku ditampar oleh kenyataan. Fakta bahwa bulan ini Klub Sastra akan dibubarkan.

Rasa pesimis-optimis beradu dalam diriku. Lantas, bagaimana aku harus mempertahankan klub di saat Fadil, Anggi, dan Rani saja sampai sekarang enggak pernah menggubris keinginanku. Lalu, Prima ... memikirkan sikapnya yang enggak bersahabat membuatku meringis.

"Ini namanya lo terlalu percaya diri, Lily," ketusku seraya mengunci ponsel. Setelah mendapat beberapa poin tambahan untuk program kerja Klub Sastra—mungkin saja suatu saat nanti keinginanku ini terpenuhi.

Besok aku harus mulai mencari calon anggota. Terkhusus Dista, aku harus berbicara dengannya. Walaupun sebenarnya aku enggak pernah mengobrol dengan gadis itu. Asti pasti akan membantu. Aku terlalu yakin, padahal Asti sendiri enggak terlalu menyukai Klub Sastra.

"Gue harus minta nomor Prima ke Asti." Ponsel kembali menyala karena aku mengetik pesan. Sayangnya, pesan itu enggak kunjung dibalas.

"Lily?" Suara Mama terdengar bersamaan dengan ketukan di daun pintu. Senyum Mama merekah ketika melihatku. "Lagi senggang, nggak?"

"Iya, Ma. Dari tadi aku guling-guling terus. Bosan."

"Mau ikut Mama?"

Ah, sudah lama sekali aku enggak jalan bareng Mama. Sejak beliau sibuk di toko bunga yang dirintisnya bersama Tante Arum—adik Papa—Mama jarang sekali mengajak pergi bersama. Sehingga ketika ada kesempatan di akhir pekan ini, aku pun enggak mau menyia-nyiakan.

"Boleh. Kita mau ke mana, Ma?" Aku meloncat dari tempat tidur saking excited.

"Menemani Windy latihan renang. Ini, kan, hari pertama dia bergabung dengan Klub Renang di sekolah barunya."

Seketika aku menarik senyum. Ternyata masih berhubungan dengan Windy. Harusnya tadi aku sadar kalau ini cukup enggak biasa. Ya, maksudku, enggak biasanya Mama datang ke kamar dan mengajak pergi, pun yang kudapati adalah pergi menemani Windy.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang