Bagian 32

128 28 0
                                    

Perasaanku berangsur lega ketika melihat motor Prima berderet di antara kendaraan lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perasaanku berangsur lega ketika melihat motor Prima berderet di antara kendaraan lainnya. Tempat parkir mulai dipadati oleh siswa-siswi SMA Cendekia Muda. Aku sengaja melintas melewati tempat parkir—selain karena jaraknya dekat dengan kelas—hanya untuk memastikan Prima sungguh datang ke sekolah atau tidak.

Anehnya. Kenapa aku yang lega? Ah, pasti teman-teman yang lain juga akan merasakan hal yang sama setelah Prima menghilang seharian.

"Lily!" teriak Adit dan Rian kompak berlari menyusul langkahku yang hendak menapak anak tangga.

"Kenapa?"

"Tungguin, dong. Bareng." Rian berjalan di sisi kananku. "Eh, lo udah jadi tugas Bu Fatima belum? Gue belum, nih."

"Maksudnya apa? Perasaan gue nggak ada tanya, deh."

Adit tertawa mendengar responsku. "Memang enggak peka, ya, teman kita yang satu ini."

"Lo kira gue cenayang bisa menebak isi pikiran kalian berdua?"

"Bagi, dong," kata Rian dengan suara super mendayu. Bikin tanganku gatal pengin menaboknya.

"Ya, udah nanti. Tapi, es teh lo yang bayar siang ini, ya."

Rian hanya mengacungkan kedua jempolnya. Kami beriringan memasuki kelas. Riuh suara penghuni kelas menandakan bahwa aku tidak datang cukup pagi hari ini. Tadi terpaksa harus menunggu karena ban mobil Papa kempis.

Mata pelajaran Bu Fatima adalah yang paling aku tunggu setiap hari. Apalagi di hari Sabtu ini kami lebih cepat pulang dari biasanya. Ah, hari Sabtu! Aku nyaris lupa kalau hari ini adalah hari pertama kami mengisi konten di mading sekolah.

Tiba di kursi, aku mengecek jarum jam. Ternyata enggak keburu. Sebentar lagi bel dan mau enggak mau aku harus menunda untuk melihat mading yang biasanya terpajang hanya di beberapa titik. Kalau yang paling dekat dengan kelasku, ya, lorong menuju ruang guru.

"Gue udah lihat mading kalian tadi," kata Asti yang baru datang. Seakan-akan dia hafal jalan pikiranku. "Keren banget! Walaupun gue nggak paham Sejarah Sastra di Indonesia. Itu tulisan lo, ya?"

"Gue yang ketik setelah nyari dari berbagai sumber. Teman-teman bantu buat menghiasnya. Makanya lo baca biar paham."

"Ya, deh. Nanti gue lihat lagi."

Pembicaraan kami kelar begitu suara bel yang nyaring memekakkan gendang telinga. Pelajaran pertama Bu Fatima pun berlangsung lancar selama beberapa jam ke depan.

—oOo—

"Kalian udah lihat mading, kan? Keren banget! Gue sampai foto-foto tadi. Mau gue unggah di Twitter, ah." Rani memperlihatkan swafoto yang diambilnya di depan mading dengan latar belakang konten kami.

"Jangan lupa like, udah gue share di sosmed kita." Anastasia mengingatkan.

Kami kompak mengangguk. Aku menggulir layar ponsel untuk melihat sosial media yang ditangani oleh Anggi dan Dista. Ternyata ada beberapa siswa SMA Cendekia Muda yang mengomentari unggahan kamu dengan dukungan penuh semangat.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang