Bagian 18

147 32 70
                                    

Beberapa hari belakangan, aku jarang bersama Asti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa hari belakangan, aku jarang bersama Asti. Nyatanya, ia pun lebih sibuk dengan Klub Drama. Sementara aku sebaliknya. Selama jam istirahat, tempat yang selalu aku datangi adalah ruang Klub Sastra.

Rencana kami berjalan lancar, tinggal membahas beberapa hal lain di rumah Rani akhir pekan ini. Sayangnya, aku sempat bersitegang dengan Papa. Bagaimana mungkin bisa mendapatkan izin saat aku masih menghindar darinya?

Bangku semen di depan kelas sepuluh Bahasa masih terisi jarang oleh siswa-siswi. Enggak terkecuali aku dan Fadil. Hamparan rumput teki yang membentang menjadi pemisah gedung kelas Bahasa dan IPS, tampak menari dibelai angin siang. Terik mentari masih demikian senang memperlihatkan eksistensinya, menerpa setiap sudut bumi.

Siswa-siswi lain berkeliaran ke sana-kemari selama jam istirahat. Bahkan anak-anak IPS terlihat konser dadakan di depan kelas. Menggoda adik kelas yang melintas atau meneriaki teman yang gebetannya tengah lewat.

Kata orang kebanyakan, anak-anak IPS memang terkenal seru dan paling sering menjadi bulan-bulanan guru BK. Apalagi saat razia rambut secara mendadak. Cowok-cowok di sana biasanya paling sering kena.

"Sori, lama. Kalian udah nunggu dari tadi, ya?" Seorang cowok muncul sambil menyimpan ponsel Samsung Galaxy keluaran lama. Entah tahun berapa, aku enggak ingat pasti. "Hai, lo pasti Lily."

"Hai, salam kenal. Gue udah dengar tentang lo dari Fadil."

Cowok yang juga sedang mengunyah permen karet itu lantas mengulurkan tangan. Kulitnya bersih terawat, begitu cocok dengan mata sipit seperti cowok-cowok chindo. Ah, atau memang dia ada darah tionghoa, entah.

"Tomo."

Ya, tetapi namanya terlalu indonesia sekali. Aku hanya menjabat tangan Tomo yang menyengir lebar. Kubalas dengan canggung.

"Jadi, apa gue perlu dites dulu buat masuk Klub Sastra? Baca puisi misalnya."

Bukan ide yang buruk. Jadi, aku mengangguk saja. Kebetulan sudah lama enggak mendengar seseorang membaca puisi. Terakhir kali ketika maju ke depan kelas untuk pengambilan nilai Bahasa Indonesia saat SMP.

Tomo membenarkan dasi, berdeham sesaat sambil menarik napas pelan. Ia membusungkan dada sebelum memulai.

"Lily ... serupa angin siang yang membelai. Jemari halusmu mengetuk hati. Lily ... serupa mentari yang cerah. Senyummu hadirkan rona merah. Lily ...."

"Udah, udah. Stop."

Aku sungguh enggak tahan lagi. Bukan, bukan karena puisinya jelek. Namun, karena aku geli sendiri setiap kali Tomo mengucapkannya.

Meski agak kesal karena enggak dibiarkan menyelesaikan puisinya, Tomo tetap enggak memprotes. Paling enggak, Tomo punya minat dan bakat berpuisi. Dia akan menambah daftar calon anggota yang akan membuat Klub Sastra batal dibubarkan.

Tinggal menunggu keputusan dari Anastasia saja. Namun, menjelang empat hari, Anggi yang bertugas mengajak Anastasia bahkan belum mengatakan apa pun.

"Bagus, Tom. Nanti tinggal isi formulir aja dan jangan lupa bantu kita sebar brosur, ya!" Fadil memperingati.

Lily dan Klub Sastra√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang